Dalam ingatan publik, Jokowi bukan sekadar lengser, tapi melengserkan dirinya sendiri dari reputasi.
Karena alih-alih membiarkan sejarah mencatatnya sebagai pemimpin yang berhasil menstabilkan demokrasi, ia memilih menjadi dalang atas lahirnya preseden politik dinasti yang kasar dan manipulatif.
Kini, setelah tak lagi menggenggam jabatan, ia seperti sedang patroli.
Seolah kekuasaan telah memberinya candu, dan setelah kepergiannya dari tampuk kekuasaan, rasa cemas itu menumpuk. Cemas bahwa apa yang dibangunnya akan rontok.
Cemas bahwa publik mulai menghisab kebohongan-kebohongan yang dulu ditutupi gegap gempita pembangunan.
Dan cemas bahwa langkah-langkah putranya—sebagai wakil presiden hasil rekayasa hukum—akan menuai badai yang tak bisa ia redam.
Dalam psikologi kekuasaan, ini disebut post-authoritarian anxiety. Semacam ketakutan bahwa sejarah akan menagih utang moral yang ditinggalkan.
Maka Jokowi wara-wiri, tak bisa diam, tak berani jauh dari panggung. Karena panggung itulah satu-satunya tempat ia merasa aman. Di luar itu, ada gelap. Ada kritik.
Ada kenyataan bahwa dirinya bukan lagi Presiden, tapi mantan presiden yang tak meninggalkan warisan keilmuan, kebudayaan, atau moralitas. Hanya proyek-proyek fisik yang hampa jiwa.
Maka apa yang tampak kini adalah potret kegelisahan yang menjelma aktivitas berlebihan.
Seorang mantan presiden yang terlalu aktif bukanlah tanda kemajuan, melainkan jejak dari masa lalu yang tak pernah selesai dibereskan.
Karena ketika seorang pemimpin menutup masa jabatannya dengan tipu daya dan perpanjangan ambisi, maka yang tersisa hanya upaya mempertahankan kekuasaan tanpa jabatan—dan itu jauh lebih melelahkan dari memimpin negara. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur