POLHUKAM.ID - Kapolres Pelabuhan Belawan AKBP Oloan Siahaan menembak seorang remaja hingga tewas. Penembakan diklaim sebagai bentuk diskresi.
Sebab korban yang diduga terlibat tawuran itu dituding melakukan penyerangan saat dibubarkan. Apakah keputusan itu dapat dibenarkan?
Minggu dini hari, 4 Mei 2025. Medan Belawan masih gelap ketika suara keributan pecah di antara dua kelompok remaja.
Mereka berasal dari Kelurahan Belawan 1 dan Belawan 2. Tawuran pecah.
Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Oloan Siahaan, turun langsung ke lokasi. Ia memimpin pengamanan. Tawuran berhasil dihentikan dalam waktu singkat.
Setelah itu, Oloan kembali ke mobil dinasnya. Dalam perjalanan pulang, ia melintasi kawasan Gerbang Tol Belawan–Medan–Tanjung Morawa (Belmera).
Di dekat Gerbang Tol Belawan–Medan–Tanjung Morawa (Belmera), Oloan kembali melihat kerumunan.
Bukan sekadar kumpulan remaja—tetapi sisa-sisa amarah yang belum tuntas. Tawuran kembali pecah. Kali ini meluas hingga ke bahu jalan.
Laporan menyebut, mobil dinas yang membawa Oloan dan sopirnya sempat diadang. Beberapa remaja disebut membawa senjata tajam.
Situasi menjadi genting. Oloan turun. Tiga tembakan peringatan dilepaskan ke udara. Suara letusan menggema di tengah malam.
Tapi tak ada yang mundur. Batu dan petasan dibalas dengan tembakan kosong. Kekacauan berubah jadi ketegangan yang nyaris tak terbendung.
"Sehingga Kapolres melakukan diskresi menembak kerumunan masyarakat yang mencoba mengganggu sekitar tol,” kata Kapolda Sumatera Utara Irjen Whisnu Hermawan di Medan, Sumatera Utara, Senin (5/5).
Tembakan itu diklaim sebagai tembakan peringatan. Diarahkan ke kaki. Tapi situasi gelap, jarak tak pasti. Semua serba cepat dan tidak terkendali.
Peluru justru mengenai tubuh dua remaja. MS (15) terkena di bagian perut. B (17) tertembak di tangan.
Keduanya segera dilarikan ke RS Bhayangkara Medan. Tim medis bergerak cepat. MS menjalani operasi untuk mengangkat proyektil.
Namun nyawanya tak tertolong. Ia meninggal dunia beberapa saat setelah operasi.
Apakah diskresi bisa jadi alasan?
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyebut diskresi tidak bisa hanya diklaim sepihak. Ia harus diuji. Diperiksa. Dipertanggungjawabkan.
“Diskresi itu bukan klaim sepihak. Tapi harus bisa dipertanggungjawabkan lewat pemeriksaan yang komprehensif,” ujar Bambang, Selasa (6/5/2025).
Menurutnya, proses itu tidak cukup hanya melibatkan Propam dan Irwasda. Pemeriksaan sebaiknya juga melibatkan lembaga eksternal agar objektif.
Bambang mengingatkan, penggunaan senjata api oleh polisi sudah jelas aturannya. Termaktub dalam Pasal 47 Ayat 1 dan 2 Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan luar biasa untuk membela diri dari ancaman kematian, melindungi nyawa orang lain, atau mencegah kejahatan berat yang mengancam jiwa.
Maka, kata Bambang, langkah Oloan harus diuji secara hukum dan etik. Benarkah penembakan itu sudah sesuai prosedur.
“Itu penting agar tidak ada penyalahgunaan diskresi. Memang bisa jadi Kapolres Pelabuhan Belawan ini tidak salah, tetapi itu harus dinyatakan lewat pemeriksaan, bukan klaim sendiri,” jelasnya.
Di sisi lain, Bambang juga mendorong Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera merealisasikan penggunaan body cam. Kamera badan bisa jadi bukti.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur