Semua ini seharusnya tercatat rapi mengingat menyangkut keuangan negara, honorarium dosen, serta anggaran kegiatan akademik. Mengapa justru yang berkaitan dengan Jokowi seolah menjadi “gelap” dan sulit dilacak?
Lebih mencurigakan lagi, adanya informasi bahwa arsip terkait ijazah Jokowi tidak ditemukan di KPUD Surakarta, tempat ia pertama kali mencalonkan diri sebagai wali kota.
Jika benar terjadi penghilangan atau rekayasa dokumen oleh UGM atau pihak lain, maka hal ini masuk dalam kategori kejahatan serius: pemalsuan dokumen negara.
Sebab, biografi seorang presiden bukan hanya soal catatan pribadi, melainkan menyangkut legitimasi konstitusional dan keabsahan kekuasaan publik.
Kecurigaan publik pun berkembang bahwa sejumlah pejabat rektorat UGM, pejabat Kemendikbudristek, bahkan pihak-pihak dalam institusi hukum, bisa saja ikut terlibat atau melakukan pembiaran terhadap dugaan kejahatan ini.
Apabila ini benar, maka mereka secara hukum dapat dikenakan pasal-pasal seperti Pasal 55 KUHP (penyertaan), Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat), Pasal 266 KUHP (keterangan palsu), serta ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional saat itu.
Ironisnya, ketika para aktivis—baik dari kalangan ahli hukum, akademisi, maupun pakar IT—berupaya mengungkap kebenaran secara ilmiah dan konstitusional, mereka justru diancam dipidanakan. Aparat negara lebih sibuk memburu pelapor ketimbang memeriksa terlapor.
Padahal, sesuai Pasal 108 KUHAP, Pasal 13 dan 42 UU Kepolisian, serta Pasal 33 UU Kejaksaan, rakyat justru berhak dan berkewajiban membantu penegakan hukum.
Apakah negara ini telah berubah menjadi state of crime, di mana aparat tunduk pada kebohongan dan bukan pada keadilan?
Logika sehat dan nurani hukum mana yang membenarkan tindakan kriminal dibungkus dalam dalih kekuasaan, sementara para pencari kebenaran justru dijadikan pesakitan?
Bukankah seharusnya negara memberikan penghargaan kepada rakyat yang proaktif membantu negara membongkar kejahatan, walau hanya berupa selembar piagam bermaterai Burung Garuda?
Penulis sendiri menyampaikan tulisan ini bukan hanya berdasarkan telaah hukum dan data empirik semata, tetapi juga karena memiliki pengalaman pribadi. Pada 16 April 2025, penulis bertemu langsung dengan Jokowi di kediamannya di Solo.
Berdasarkan pengamatan psikologis dan fakta-fakta yang terus terungkap, penulis meyakini 100% bahwa ijazah S-1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM adalah palsu.
Penegakan hukum tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan. Negara bukan milik seorang Presiden, melainkan milik seluruh rakyat. Dan kebenaran, cepat atau lambat, pasti akan menemukan jalannya. ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur