Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!

- Sabtu, 07 Juni 2025 | 15:35 WIB
Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!


Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? 'Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!'


Oleh: M Yamin Nasution, S.H.


Pembuka: Ketika Kekuasaan Menjadi Cermin Retak


Dalam setiap narasi kekuasaan, sejarah selalu menuntut satu pertanggungjawaban moral: untuk siapa kekuasaan itu ditegakkan, dan dengan harga apa?


Di bawah langit Indonesia yang disesaki baliho dan janji pembangunan, rakyat sebenarnya tidak buta. 


Mereka tahu, ketika hukum mulai melunak terhadap para pencuri berdasi, ketika petani digilas buldoser atas nama investasi, dan ketika keluarga pemimpin mulai bercokol di kursi-kursi kekuasaan, maka negara ini sedang berdiri di atas fondasi yang rapuh—diikat bukan oleh hukum dan keadilan, melainkan oleh kompromi dan kepentingan.


Selama satu dekade terakhir, Joko Widodo—sosok yang dahulu dielu-elukan sebagai “wakil rakyat sejati”—justru memimpin apa yang mungkin menjadi salah satu periode paling kontradiktif dan problematik dalam sejarah demokrasi Indonesia. 


Dalam wajahnya yang sederhana, tersembunyi struktur kekuasaan yang rumit, penuh kompromi, dan dalam banyak hal, kehilangan arah moral.


Korupsi yang Dilegalkan, Hukum yang Dibajak


Pelemahan sistemik terhadap KPK—yang disahkan melalui revisi UU KPK tahun 2019—hanya pembuka dari lanskap korupsi era Jokowi. 


Skandal demi skandal terjadi di bawah kendali pemerintah pusat: proyek BTS Kominfo, bansos COVID-19, hingga mafia minyak goreng.


Namun lebih berbahaya dari korupsi adalah pembajakan hukum. Omnibus Law Cipta Kerja, kini disahkan sebagai UU No. 6 Tahun 2023, memuat pasal-pasal seperti Pasal 154–157 yang secara eksplisit membuka jalan bagi pengalihan aset negara dan BUMN kepada pihak swasta dan perusahaan patungan. 


Hukum berubah bukan menjadi pelindung rakyat, tetapi alat legitimasi kepentingan oligarki.


Luka Agraria, Darah yang Tak Pernah Kering


Pembangunan tidak netral. Di era Jokowi, pembangunan menjadi alat konsolidasi kekuasaan dan perampasan ruang hidup.


Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2022, terdapat:


  • 212 konflik agraria sepanjang tahun itu saja;
  • Total 2.610.442 hektare tanah diperebutkan;
  • Lebih dari 346.402 keluarga terdampak;
  • Sedikitnya 72 orang tewas dalam konflik agraria sejak 2015 (tertembak atau ditembak);
  • Ratusan lainnya luka-luka atau dikriminalisasi.


Wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Papua menjadi titik panas dari konflik ini—khususnya akibat ekspansi tambang, sawit, dan proyek strategis nasional. Pemerintah tidak hadir sebagai penengah, tetapi sebagai fasilitator investor.


Bantuan Bencana atau Branding Komersial Terselubung?


Ironi terbesar terjadi di tengah duka: saat ribuan warga mengungsi akibat gempa Cianjur tahun 2022, nasi kotak bermerek CFC (California Fried Chicken) dibagikan kepada korban oleh pejabat negara.


Peristiwa ini seharusnya menuai kritik tajam dari Sarjana Hukum. Penggunaan merek dagang dalam bantuan bencana bukan hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip netralitas dan independensi bantuan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam:


Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 26 dan 27;


Peraturan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Logistik dan Peralatan dalam Penanggulangan Bencana, yang mewajibkan bantuan tidak bersifat promosi.


Bila pejabat publik membagikan bantuan bermerek dagang tanpa prosedur lelang atau transparansi, maka hal ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk konflik kepentingan, bahkan dugaan pengadaan terselubung.


Nepotisme Baru dalam Demokrasi Lama


Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilpres 2024 adalah preseden buruk bagi demokrasi. 


Bukan hanya karena ketua MK saat itu adalah ipar Presiden, melainkan karena mekanisme hukum diputarbalikkan demi satu nama.


Jika kekuasaan bisa diwariskan lewat rekayasa hukum, maka demokrasi telah berubah menjadi semacam feodalisme konstitusional—di mana nama lebih penting daripada legitimasi rakyat.


Menghilangkan konsep “sah” dalam praktik hukum, melainkan sebatas produk legalisasi “legal” yang dikeluarkan Lembaga Negara yang sah (Hans Kelsen : Purity of Law, 2007). 


Dampaknya, penolakan dari masyarakat terus menerus terjadi, dikarenakan suatu system hukum baru, lahir seketika dan bertentangan dengan tradisi aturan hukum yang puluhan tahun dijadikan rujukan.


Ekonomi untuk Siapa?


Data resmi dari BPS per Maret 2023 mencatat bahwa:


  • Jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta jiwa;
  • Ketimpangan masih tinggi, dengan Rasio Gini stagnan di angka 0,388.
Halaman:

Komentar

Terpopuler