OH! Pantas PBNU Tidak Bersuara Soal Polemik Tambang Raja Ampat, Ternyata Salah Satu Ketuanya Jadi Komisaris di PT Gag

- Senin, 09 Juni 2025 | 11:35 WIB
OH! Pantas PBNU Tidak Bersuara Soal Polemik Tambang Raja Ampat, Ternyata Salah Satu Ketuanya Jadi Komisaris di PT Gag


Pada bagian lain, Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik sekaligus pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan jika aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, harus dihentikan total.


Marcellus menilai, langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat pada 5 Juni 2025, sebagai titik balik dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.


“Ini bukan semata-mata keputusan administratif, melainkan juga refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup. Harapan saya, keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujar Marcellus dalam keterangannya Jumat, 6 Juni 2025.


Marcellus menilai, keputusan Menteri ESDM itu merupakan sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi. 


Apalagi Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.


“Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” jelas Marcellus.


Ia juga menekankan bahwa UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil, seperti Gag, Kawe, dan Manuran.


Namun, realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan. 


Hal ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum lingkungan.


Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan. 


Sedimentasi yang mengalir ke laut juga menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.


“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” katanya.


PT Gag Nikel memang mengeklaim bahwa operasional mereka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 


Namun, Marcellus menilai, status perusahaan sebagai BUMN tidak menjadi pembenaran untuk menoleransi pelanggaran prinsip ekologis.


“Justru karena BUMN adalah wajah negara, seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya.


Marcellus mendesak pemerintah untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial.


Sumber: SamudraFakta

Halaman:

Komentar

Terpopuler