Super Power atau Super Monster? China, Nikel, dan Kejahatan Negara oleh Presiden Jokowi!
Oleh: Christovita Wiloto
“Pengkhianatan terbesar dalam sejarah modern Indonesia tidak datang dari luar, tapi dari dalam istana sendiri.”
Sejarah akan mencatat, bahwa dalam kurun waktu satu dekade pemerintahan Joko Widodo, dari 2014 hingga 2024, telah terjadi tragedi nasional yang amat memalukan: pengkhianatan terang-terangan terhadap kekayaan bangsa oleh pemimpin yang semestinya melindunginya.
Presiden Jokowi, tokoh yang dielu-elukan sebagai “pemimpin rakyat,” ternyata adalah arsitek dari sistem penghisapan sumber daya nikel secara sistematis dan brutal untuk kepentingan negara asing: Republik Rakyat Tiongkok.
Yang disebut sebagai kerja sama strategis, nyatanya lebih menyerupai kolaborasi predatorik.
Ratusan juta ton nikel diekspor secara ilegal, lewat jalur laut yang disamarkan, dengan nilai mencapai ribuan triliun rupiah.
Tongkang-tongkang pengangkut nikel tak hanya berlayar di malam hari, tetapi juga membawa nama-nama yang mencengangkan: Tongkang JKW dan Tongkang Iriana.
Keduanya disebut-sebut sebagai simbol keterlibatan langsung keluarga presiden dalam jaringan ekspor ilegal mineral strategis Indonesia.
Kejahatan ini bukan kejahatan sembunyi-sembunyi. Ia terjadi secara terang-benderang, dipoles dengan narasi “hilirisasi” dan “investasi.”
Tapi di balik kemasan manis itu, terjadi pengerukan brutal terhadap kekayaan bangsa.
Nikel Indonesia mengalir deras ke Tiongkok, tak hanya mengisi perut industri kendaraan listrik dan baja tahan karat Negeri Tirai Bambu, tapi juga membiayai ambisi geopolitik mereka.
Yang tragis, semua terjadi dengan restu negara, bahkan—jika merujuk dokumen investigasi dan nama-nama kapal tadi—atas perintah presiden sendiri.
Jejak kehancuran dimulai ketika Jokowi menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim dan Investasi. Dalam tangan Luhut, Indonesia dijual habis-habisan atas nama investasi.
Perusahaan-perusahaan tambang China digelontorkan kemudahan regulasi, insentif fiskal, hingga pemberian lahan dan tenaga kerja murah.
Ironisnya, banyak dari tenaga kerja asing yang masuk tidak melalui jalur legal.
Pemerintah membungkam suara-suara protes dengan narasi nasionalisme semu: “kita sedang membangun hilirisasi.”
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Indonesia hanya menjadi penyedia bahan baku dan tenaga kerja murah. Teknologi tetap dimonopoli China.
Lingkungan hancur lebur. Sungai-sungai tercemar, udara penuh logam berat, dan masyarakat lokal dipaksa tergusur oleh kepentingan korporasi tambang.
Lebih ironis lagi, praktik pengiriman nikel mentah secara ilegal diduga menggunakan jalur dan dokumen palsu.
Sejumlah mantan pejabat bea cukai menyebutkan adanya tekanan dari atas agar “jangan terlalu rewel” terhadap pengangkutan nikel dari Sulawesi.
Kapal-kapal dengan muatan nikel diduga tidak pernah tercatat secara resmi dalam sistem pelaporan ekspor nasional.
Negara pun kehilangan potensi pendapatan triliunan rupiah—uang yang semestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur rakyat.
Indonesia seolah lupa sejarah. Zaman VOC dan penjajahan Belanda terulang kembali, hanya kali ini aktor utamanya adalah para elit nasional yang menjual bangsanya sendiri.
Mereka bukan antek asing, mereka adalah pemilik kekuasaan.
Mereka bukan penjajah dari luar, tetapi pengkhianat dari dalam. Presiden Jokowi, yang dulu dielu-elukan sebagai antitesis dari oligarki, berubah menjadi simbol pengkhianatan.
Kerusakan tidak hanya terjadi di level ekonomi dan lingkungan. Kerusakan paling mengerikan terjadi di dalam hati rakyat Indonesia: rasa percaya terhadap negara mulai runtuh.
Bagaimana mungkin seorang presiden—yang bersumpah di bawah konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia—justru menjadi bagian dari sindikat perampokan massal kekayaan nasional?
Hari ini, Indonesia tak hanya menghadapi krisis sumber daya dan lingkungan. Kita menghadapi krisis moral.
Krisis kepemimpinan. China, dengan kekuatan modal dan teknologinya, telah menjadi super power di kancah global.
Tapi bagi Indonesia, China menjelma super monster yang melumat habis kekayaan alam kita, dengan kolusi dari elit kekuasaan kita sendiri.
Doa-doa rakyat kini menggema dari lereng tambang yang hancur, dari sungai-sungai yang mati, dan dari perut anak-anak yang lapar.
Mereka memohon: Tuhan, bangkitkan pemimpin yang jujur, yang tidak menjual bangsanya sendiri.
Indonesia harus bangkit. Rakyat harus melawan. Dunia harus membuka mata.
Karena jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa di era Jokowi, merah-putih telah dikibarkan bukan sebagai simbol kemerdekaan, tetapi sebagai bendera tawar-menawar dalam meja perampokan global. ***
Artikel Terkait
Satu Dekade Jokowi: Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik
Ngaku Salah, Panitia Kurban Minta Maaf usai Minta Rp 15.000 ke Warga untuk Tebus Satu Kantong Daging
Bejat! Polisi di NTT Diduga Perkosa Korban Pemerkosaan yang Lapor ke Polsek
HEBOH! Ada Artis Dituding Tularkan HIV ke Cucu Konglomerat, Siapa?