Bahlil Heran: Ketika Hutan Dibabat Kok Ada Yang Merasa Terganggu, Ada Apa?

- Kamis, 26 Juni 2025 | 13:15 WIB
Bahlil Heran: Ketika Hutan Dibabat Kok Ada Yang Merasa Terganggu, Ada Apa?




POLHUKAM.ID - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku heran karena banyak yang memprotes ketika Indonesia ingin mengeruk kekayaan alamnya sendiri.


Padahal menurutnya, membabat habis hutan dan melakukan pertambangan untuk mencari nilai tambah pembangunan nasional. 


Di sisi lain, ia membandingkannya dengan negara-negara maju saat ini.


Itu diungkapkan Bahlil dalam pidatonya di Jakarta Geopolitical Forum IX di Jakarta dengan tema “Geoeconomic Fragmentation and Energy Security”, Selasa (24/6/2025).


“Sebagian negara-negara lain pada saat mereka di era 40-an, 50-an, 60-an, mereka kan punya hutan banyak juga, mereka punya tambang juga banyak, semuanya mereka banyak, pada saat itu negara mereka belum maju seperti sekarang,” kata Bahlil dikutip Kamis (26/6/2025).


Lebih jauh, Bahlil mengatakan, kerusakan karena mengeksploitasi SDA, disebutnya lebih parah yang dilakukan negara maju. Ketimbang Indonesia saat ini.


“Maka mereka mengambil sumber daya alam mereka itu, hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu, wallahu a’lam ya, mungkin tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang,” ujarnya.


Ketua Umum DPP Partai Golkar ini pun bertanya, ketika negara-negara tersebut melakukan kegiatan eksploitasi alam, apalah ada yang memprotes mereka pada saat itu.


“Pertanyaan saya, siapa yang memprotes mereka di saat itu, sekarang negara kita negara-negara berkembang yang punya sumber daya alam yang baru memulai untuk berpikir ada nilai tambah, untuk kemudian bisa menyejahterakan rakyatnya, untuk bisa membangun, kok ada yang merasa terganggu. Ada apa di balik itu,” imbuhnya.


Ia menegaskan, setiap negara memiliki kedaulatannya dalam mengelola SDAa tanpa diganggu oleh pihak asing. 


Karena hal itulah yang seharusnya terjadi sehingga masing-masing negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi negara maju melalui caranya masing-masing.


“Negara-negara di dunia ini harus dihargai kedaulatan kemerdekaannya, tidak boleh ada satu negara yang merasa lebih berhak, lebih kuat daripada negara lain, karena kita harus membangun kesepahaman bahwa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di mata dunia dalam mengelola sumber daya alam kita, ini harus dibangun,” pungkasnya.


Bahlil Minta Rakyat Doa Agar BBM Tak Naik Imbas Perang Iran-Israel


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta masyarakat berdoa agar harga BBM tak melonjak karena perang Iran melawan Israel.


Menurut Bahlil, semua negara mementingkan bangsanya sendiri. Dia menilai Indonesia tidak bisa bergantung kepada negara mana pun saat ini.


"Katanya harga minyak akan potensi naik, melebihi asumsi di dalam APBN. Saya katakan berdoa saja karena hanya doa dan ikhtiar kita secara internal yang bisa menyelamatkan kita," kata Bahlil pada Jakarta Geopolitical Forum 2025 Lemhanas RI d Jakarta, Selasa (24/6).


Bahlil mengatakan asumsi harga minyak pada APBN 2025 US$82 per barel. 


Dia mengaku sempat khawatir saat harga minyak sempat menyentuh US$79 pada awal perang Iran dan Israel.


Saat ini, kata dia, harga minyak jauh di bawah asumsi makro APBN 2025, yaitu US$67 per barel. 


Namun, pemerintah tetap bersiaga menyikapi gejolak harga minyak yang fluktuatif.


"Apa yang hari ini terjadi, belum tentu besoknya seperti ini. Kita lihat perkembangannya lagi, baru kemudian kita bisa melakukan kajian," ujar Bahlil.


Harga minyak menjadi sorotan di tengah perang Iran vs Israel. Lokasi perang terjadi di Timur Tengah, daerah utama pemasok minyak dunia.


Harga minyak makin dirundung kekhwatiran setelah parlemen Iran menyetujui penutupan Selat Hormuz. 


Selat itu dilewati sekitar 20 juta barel minyak per hari dari negara-negara Timur Tengah.


Goldman Sachs memprediksi harga minyak mentah Brent menembus US$110 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz. 


Bank investasi asal Amerika Serikat (AS) itu memperkirakan harga Brent akan stabil dengan rata-rata sekitar US$95 per barel pada kuartal ke-IV 2025.


Goldman memperkirakan harga Brent mencapai puncaknya di kisaran US$90 per barel bila pasokan minyak Iran menurun 1,75 juta barel per hari (bpd) selama enam bulan.


"Meski situasi di Timur Tengah terus berkembang, kami percaya insentif ekonomi, termasuk dari AS dan China untuk mencegah gangguan besar dan berkepanjangan di Selat Hormuz akan sangat membantu," ucap Goldman Sachs dilansir Reuters, Senin (23/6).


Sumber: Fajar

Komentar