POLHUKAM.ID - Panggung politik nasional tengah menyaksikan pergeseran tektonik kekuasaan yang berlangsung cepat.
Seiring langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto yang mulai menata fondasi pemerintahannya, magnet politik yang selama satu dekade terpusat pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini disebut mulai meredup dan berpindah haluan.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, secara tajam menganalisis fenomena ini.
Menurutnya, manuver Prabowo yang proaktif membangun komunikasi dengan berbagai kekuatan politik, termasuk rival utamanya, adalah sinyal kuat bahwa episode baru telah dimulai, dan para elit politik dengan sigap membaca arah angin.
Salah satu bukti paling sahih dari independensi Prabowo, menurut Yunarto, adalah inisiatifnya membuka jalur komunikasi langsung dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Langkah ini dianggap sebagai manuver cerdas untuk menegaskan otonominya dan membantah narasi bahwa ia hanya akan menjadi bayang-bayang atau kepanjangan tangan dari Jokowi.
"Langkah Prabowo yang berkomunikasi dengan Megawati (PDIP) menunjukkan bahwa Prabowo independen dan tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh Jokowi," ujar Yunarto dalam podcast Gaspol dikutip dari YouTube, Jumat (18/7/2025).
Pernyataan ini menjadi krusial untuk membedah dinamika yang terjadi di lingkar kekuasaan.
Selama proses Pilpres 2024, peran Jokowi dalam kemenangan Prabowo tak bisa dinafikan.
Namun, langkah Prabowo mendekati PDIP, yang notabene merupakan rival politik utama dalam kontestasi lalu, menunjukkan bahwa sang presiden terpilih sedang merajut sendiri peta koalisinya, terlepas dari desain awal yang mungkin diharapkan Jokowi.
Lebih jauh, Yunarto Wijaya menyoroti sebuah realitas politik yang seringkali tak terlihat oleh publik luas.
Ia menyebut pergeseran dukungan dari para elit politik terjadi jauh lebih cepat dan pragmatis dibandingkan dengan pemilih di tingkat akar rumput.
Begitu seorang presiden tak lagi memegang kendali penuh atas kekuasaan eksekutif, daya tariknya pun seketika memudar.
"Ini juga mengindikasikan bahwa elit politik lebih kejam daripada pemilih, di mana magnet politik cepat berpindah dari Jokowi ke Prabowo setelah Jokowi tidak lagi berkuasa," tegas Yunarto.
Ungkapan "lebih kejam daripada pemilih" secara gamblang melukiskan pragmatisme tingkat tinggi di kalangan elit.
Loyalitas dan dukungan politik, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan cair dan selalu mengarah pada pusat gravitasi kekuasaan yang baru.
Hal ini terlihat dari bagaimana partai-partai politik, termasuk yang sebelumnya sangat lekat dengan citra Jokowi, kini "sudah sibuk dengan kepentingannya sendiri dan berlomba mengambil hati Prabowo."
Meski Jokowi diyakini masih memiliki pengaruh politik, misalnya melalui kendaraan politik seperti PSI yang coba ia bangun sebagai "benteng", pusat pengambilan keputusan dan negosiasi strategis kini tak lagi berada di tangannya.
Prabowo Subianto telah menjelma menjadi matahari baru dalam konstelasi politik Indonesia, menarik semua planet di sekitarnya untuk mengorbit kepadanya.
Bagaimana Prabowo mengelola "magnet" barunya ini akan menentukan stabilitas dan wajah pemerintahannya lima tahun ke depan.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Said Didu Bongkar Dugaan Kebohongan Jokowi Soal Tamu VVIP di Nikahan Gibran, Ada Riza Chalid?
Jokowi Dinilai Mulai Ditinggal Kawan Politik di Tengah Gelombang Masalah ke Keluarganya
Rismon Sianipar Curiga Mantan Rektor UGM Sofian Effendi Ditekan Tarik Pernyataan Ijazah Jokowi Palsu
Pagu Anggaran IKN Mubazir Kalau Wapres Gibran Ogah Pindah