POLHUKAM.ID - Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau penunjukan langsung oleh pemerintah pusat terus menuai kontroversi.
Pengamat politik Adi Prayitno melontarkan kritik pedas dengan mengajukan pertanyaan provokatif: jika alasannya efisiensi dan menghindari politik uang, mengapa tidak sekalian presiden dipilih MPR seperti era Orde Baru?
Usulan pemilihan kepala daerah melalui dua mekanisme alternatif—dipilih DPRD atau ditunjuk pemerintah pusat—telah memicu beragam respons di kalangan DPR, politisi, dan pemerintah.
Wacana ini muncul bersamaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu pusat dan daerah.
“Ada yang menganggap usulan ini layak didiskusikan untuk memperbaiki kualitas Pilkada. Tapi ada juga yang menyarankan jangan terlalu terburu-buru menyederhanakan persoalan dengan cara memilih kepala daerah oleh segelintir DPRD,” ujar Prayitno lewat akun YouTube-nya, kemarin.
Para pendukung usulan ini berargumen bahwa pemilihan langsung rentan terhadap politik uang, menciptakan fragmentasi masyarakat, membuat daerah bergantung pada pusat, dan memboroskan anggaran negara.
Adi menolak tegas argumen tersebut dengan mengangkat pengalaman sejarah Indonesia.
“Kita perlu mengingat, dulu pada masa Orde Baru, kepala daerah ditunjuk pemerintah pusat. Apa hasilnya? Justru terjadi sentralisasi kekuasaan,” tegasnya.
Menurutnya, sistem penunjukan pada era Orde Baru justru membuat aspirasi daerah tidak terdengar dan pembangunan ekonomi daerah stagnan.
“Segala sesuatu di daerah didoktrin oleh kepentingan pusat. Aspirasi dari bawah tidak pernah didengarkan karena kepentingannya Jakarta-sentris.”
Indonesia baru 20 tahun menikmati pemilihan langsung kepala daerah sejak 2005.
“Memang ada evaluasi soal politik uang dan fragmentasi, tapi terlalu buru-buru menyimpulkan bahwa solusinya kembali ke sistem lama,” kritik Adi.
Adi kemudian melontarkan kritik satiris yang mencuat dalam diskusi publik.
Jika alasan utamanya adalah menghindari politik uang, fragmentasi, dan efisiensi biaya, mengapa hanya berlaku untuk Pilkada?
“Bukankah di Pilpres juga ada politik uang? Bukankah Pilpres juga membelah masyarakat dengan fenomena ‘cebong vs kampret’? Pemilu juga berbiaya mahal dan menghabiskan APBN,” ujarnya.
Artikel Terkait
Jokowi Bongkar Fakta Rumah Pensiun Colomadu: Bukan untuk Tinggal, Ternyata untuk Ini!
Rahasia Di Balik Pertemuan Tertutup Prabowo dan Dasco di Widya Chandra Terungkap!
Jokowi Dianggap Inkonisten, Benarkah Kebijakannya Buka Peluang Korupsi?
Ijazah Jokowi Palsu? Survei Buktikan Mayoritas Masyarakat Justru Tidak Percaya