“Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil sehingga tren migas ke depan bisa menuju energi lebih bersih,” ungkap Satya.
Dalam transisi energi menuju net zero emission, porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2060 mendatang diproyeksikan masih akan sekitar 34% persen.
Gas bumi diproyeksi memiliki kontribusi besar dalam bauran energi primer Indonesia. Melalui RUEN pemerintah memproyeksikan kebutuhan gas bumi dalam negeri pada 2050 sebesar 25.869,1 MMSCFD.
Taslim Z Yunus mengungkapkan dalam outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Apalagi pemerintah telah memberikan beberapa insentif kepada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). “Target kami pada 2030 produksi minyak mencapai 1 juta BOPD dan gas 12 BScf,” katanya.
Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi tersebut salah satunya dilakukan melalui pemberian paket insentif hulu migas yang meliputi penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau abandonment and site restoration (ASR); penundaan atau penghapusan PPN LNG (penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN); pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara (BNN) sepanjang masih digunakan untuk kegiatan usaha hulu migas; penundaan atau pengurangan hingga 100% atas pajak – pajak tidak langsung; memberikan insentif hulu migas, diantaranya depresiasi dipercepat, perbaikan split untuk KKKS, dan DMO price yang lebih baik; gas dapat dijual dengan harga market untuk semua skema di atas Take or Pay dan DCQ; menghapuskan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak USD 0,22 per MMBTU; pembebasan branch profit tax apabila reinvestasi profit (dividen) ke Indonesia; dukungan dari Kementerian yang membina industri pendukung hulu migas (baja, rig, jasa dan service) bagi industri penunjang kegiatan hulu migas.
Komaidi Notonegoro menyatakan semua pihak sudah sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting dan kini tinggal bagaimana mengelolanya secara bijaksana. Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brazil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut.
Kajian yang dilakukan Reforminer memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70-80 %, memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. Index multiplier effect mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita.
Menurut Komaidi, sektor hulu migas masih berperan penting bagi perekonomian nasional kendati ada transisi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan. Apalagi, banyak produk derivatif yang dihasilkan dari minyak dan gas.
“Kalau mau melangkah ke trabsisi energi tentu banyak hal-hal detail perlu bijak dalam melihatnya,” katanya.
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid