Faktor kedua, pengetatan kebijakan moneter di AS, dan berbagai negara maju yang pertumbuhan ekonominya terus meningkat dan negara yang inflasinya tinggi disebabkan tidak mempunyai ruang fiskal. Pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif tersebut berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi.
"Ruang fiskalnya yang terbatas menyebabkan meningkatnya harga-harga di dalam negeri. Ini terjadi di Brazil, India dan sejumlah negara lain. dan kenaikan suku bunga tentu saja menurunkan permintaan dan pertumbuhan ekonomi," ucap Perry.
Faktor yang ketiga adalah kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok yang dapat menahan perbaikan gangguan rantai pasokan. Akibat ketiga faktor tersebut, pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
"Seluruh faktor ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi global berisiko ke bawah. Kami perkirakan yang semula mencapai 3,4%, bacaan kami tiga faktor tadi menimbulkan risiko bahwa ekonomi global dapat turun jadi 3%, meskipun nanti naik lagi di 2023 menjadi 3,3%," ungkap Perry.
Sumber: republika.co.id
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid