Keempat, supply dan demand pupuk. Misalnya, pada saat musim tanam di beberapa negara besar seperti China, India, Indonesia, serta Brasil, ada kecenderungan harga pupuk akan naik. Kelima, geopolitik perdagangan. Geopolitik ini sangat kental diterapkan di China, yakni berupa Tax Window. Pada musim tanam, karena kebutuhan pupuk tinggi, mereka menerapkan pajak untuk ekspor. Padahal, Indonesia melakukan importasi terutama bahan baku yang berbasis P (fosfat) baik TSP atau DAP, dan MAP sebagian besar impor dari China.
Keenam, kasuistik anomali. Misalnya pandemi menyebabkan perubahan harga. Kenaikan harga pupuk sejak awal pandemi Covid-19 ditambah dengan adanya perang Rusia-Ukraina. Hal ini menyebabkan perubahan harga pupuk internasional yang berdampak pada harga pupuk nasional.
"Kita produsen pupuk sebenarnya tidak suka dengan fluktuasi harga karena menyebabkan modal kerja yang besar dan suplai bahan baku misalnya Photas yang dulunya 30–40 hari bisa tiba di Indonesia, sekarang bisa mencapai 60–90 hari," kata Yahya.
Ketujuh, harga pupuk internasional. Harga pupuk internasional naik sejalan dengan naiknya harga minyak bumi dan gas alam.
"Namun, kita masih bersyukur karena BUMN utamanya Pupuk Indonesia, pada saat akhir tahun dan Februari lalu (pecah perang), harga urea mencapai US$1.000/ton, walaupun Pupuk Indonesia ekspor dengan harga US$900/ton, tetapi harga di dalam negeri masih dibatasi di harga US$700/ton," kata Yahya.
Sumber: bogor.suara.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid