‘Ancaman kembalinya dwifungsi ABRI’ - Aktivis tolak usulan perluasan prajurit aktif di jabatan sipil dalam revisi UU TNI, Jubir TNI: ‘Mengapa tidak diseminarkan saja?'

- Sabtu, 13 Mei 2023 | 00:30 WIB
‘Ancaman kembalinya dwifungsi ABRI’ - Aktivis tolak usulan perluasan prajurit aktif di jabatan sipil dalam revisi UU TNI, Jubir TNI: ‘Mengapa tidak diseminarkan saja?'

Revisi UU TNI tidak masuk dalam 39 RUU Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2023.

Al Araf menyebut doktrin Dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada pidatonya di ulang tahun Akademi Militer Nasional, November 1958, dengan istilah 'Jalan Tengah'.

Konsep itu disebutnya menempatkan militer sebagai alat pertahanan keamanan negara dan juga berperan dalam kehidupan ideologi, politik, ekonomi hingga sosial.

Doktrin itu kemudian dikukuhkan sebagai kebijakan politik oleh Suharto melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara.

Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 82 itu berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasar Undang Undang Dasar 1945 dalam segala usahadan kegiatan pembangunan nasional.”

Di bawah rezim Suharto, ABRI menduduki jabatan-jabatan sipil secara luas, mulai dari ketua rukun tetangga (RT), kepala daerah, anggota parlemen hingga menteri.

Pascareformasi, TNI mengalami reformasi dan dwifungsi ABRI dihapus. Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, kecuali pada jabatan terbatas yang telah ditentukan dalam UU TNI.

Selain perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI aktif, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mencatat pasal-pasal lain yang “membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM”.

Wahyudi menyoroti perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam draf revisi UU TNI, terjadi penambahan OMSP dari 14 menjadi 19 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI.

“Selain jabatan sipil, kewenangan TNI dalam OMSP juga daftarnya semakin panjang. Artinya militer akan terlibat di semakin banyak sektor,” kata Wahyudi.

Penambahan kewenangan TNI itu di antaranya meliputi peran menanggulangi ancaman siber, mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, hingga melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh presiden guna mendukung pembangunan nasional.

“Beberapa penambahan tersebut tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, lalu pendukung pembangunan nasional. Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri,” tulis Koalisi dalam keterangan persnya.

Koalisi juga menyoroti penghapusan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam revisi UU TNI.

Aturan saat ini menyebut, “Dalam pengerahaan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden”, yang berubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”.

Penghapusan itu disebut berpotensi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

“Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis,” kata Koalisi.

Selain itu, muncul juga usulan perubahan atas Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang".

Dalam usulan terbaru, pasal itu diubah menjadi "Prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum", yang disebut Koalisi, memperkuat impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Perubahan itu juga disebut bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat 2 UU TNI.

“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” kata Koalisi.

Rencana revisi UU TNI itu juga meliputi perubahan mekanisme anggaran TNI dan penggunaan yang tidak terbatas untuk bidang pertahanan.

Pertama, revisi UU TNI mengusulkan perubahan pada klausul Pasal 66 ayat 2, dari yang sebelumnya berbunyi "Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan". Aturan ini diusulkan diubah menjadi "Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan".

Usulan perubahan mekanisme anggaran ini dipertegas pada Pasal 67 yang menyebutkan bahwa “Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan…” yang kemudian diubah menjadi mengajukan “kepada Menteri Keuangan” untuk dibiayai APBN.

“Dengan adanya perubahan tersebut, Kemhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN,” kata Koalisi.

Selain itu, tambah Koalisi, terjadi juga perubahan pada Pasal 66 ayat 1 UU TNI, dari yang saat ini berlaku yaitu “TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” lalu diubah menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

“Perubahan ini menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan,” ujar Koalisi.

Terkait hal itu, Kapuspen TNI, Laksda Julius menjelaskan, usulan perubahan bertujuan demi tercapainya efisiensi birokrasi.

Julius mengatakan, jalur birokrasi yang singkat akan membuat proses pengadaan lebih efektif, efisien dan lebih mudah dikontrol.

“Saya tidak setuju kalau kemudian dengan usul ini TNI dibilang menolak supremasi sipil. Kementerian Keuangan kan juga sipil. Malah semua jajarannya murni sipil,” kata Julius.

Julius mengatakan, ketika jalur birokrasi melewati banyak instansi, pengalaman selama ini, memunculkan banyak kebijakan politik yang membuat kebutuhan dan persenjataan yang dibeli tidak sesuai.

“Ketika jalur birokrasinya melewati banyak instansi, pengalaman selama ini banyaknya kebijakan politik membuat kebutuhan dan persenjataan yang dibeli tidak sesuai,” kata Julius.

Sumber: bbc.com

Halaman:

Komentar

Terpopuler