'Seberapa sakit?' - mengapa kita butuh ukuran objektif untuk nyeri

- Sabtu, 13 Mei 2023 | 18:30 WIB
'Seberapa sakit?' - mengapa kita butuh ukuran objektif untuk nyeri

Ilmu tentang nyeri itu rumit dan penilaiannya pun subyektif, menyebabkan bias dan ketimpangan dalam dunia kesehatan. Kini, para peneliti sedang mencari ukuran nyeri yang obyektif dan dapat diandalkan.

Seberapa sakit? Barangkali Anda berpikir itu adalah salah satu pertanyaan paling sederhana dalam praktik kesehatan dan kedokteran.

Namun pada kenyataannya, itu bisa jadi pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab secara objektif.

Bayangkan seorang dokter dengan dua pasien yang meringis dan menjabarkan rasa sakit mereka dengan kata-kata yang sama.

Bisakah sang dokter memastikan bahwa mereka mengalami tingkat nyeri yang sama?

Bagaimana kalau salah satu pasien terbiasa meremehkan sakit yang dideritanya?

Bagaimana kalau pasien yang satunya lagi sudah lama merasakan sakit dan sudah terbiasa?

Dan bagaimana kalau dokter memiliki prasangka tertentu, yang berarti mereka lebih cenderung mempercayai satu pasien daripada yang lain?

Rasa sakit atau nyeri sulit untuk dimengerti, sulit untuk diukur, dan karena itu sulit untuk diobati.

Nyeri dapat menjadi sinyal marabahaya yang penting. Kegagalan dalam memahaminya bisa berarti hilangnya kesempatan untuk menyelamatkan nyawa—atau sesuatu yang jauh lebih minor.

Meski nyeri merupakan pengalaman yang universal, rasa sakit itu masih menjadi misteri—terutama ketika harus menentukan seberapa besar level nyeri yang dialami seseorang.

"Pemahaman kita sangat lemah," kata Emma Pierson, seorang ilmuwan komputer di Universitas Stanford yang meneliti tentang nyeri.

"Khususnya, fakta bahwa dokter manusia sering dibuat bingung oleh alasan seorang pasien merasa kesakitan, itu menunjukkan bahwa pemahaman dokter kita saat ini tentang nyeri sangat kurang."

Saat ini, standar emas untuk analisis nyeri masih mengandalkan laporan pasien tentang perasaan mereka, menggunakan skala numerik (0—tidak nyeri sama sekali—sampai 10—sangat nyeri), atau sistem kualitatif.

"Langkah pertama dalam mengobati nyeri secara memadai ialah mengukurnya secara akurat dan itulah tantangannya," kata Carl Saab, pemimpin tim riset tentang nyeri di Klinik Cleveland di Ohio.

"Standar perawatan saat ini masih berdasarkan 'smiley face' yang membingungkan ruang UGD.

Sistem ini dapat membingungkan pasien, kata Saab. Lebih jauh lagi, sistem ini dianggap problematik ketika pasiennya anak-anak atau tidak bisa berkomunikasi.

Lalu muncul persoalan, apakah penilaian pasien bisa dipercaya. Satu studi menemukan bahwa ada anggapan luas kalau orang-orang cenderung melebih-lebihkan tingkat rasa sakit yang mereka alami.

Meskipun tidak ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa melebih-lebihkan seperti itu biasa terjadi.

Baca juga:

Mengukur nyeri tanpa cara yang objektif, menimbulkan potensi bias dalam keputusan tenaga kesehatan (nakes).

“Nyeri berdampak besar pada populasi yang terpinggirkan, dan rasa sakit mereka cenderung diabaikan,” kata Pierson.

Sayangnya, banyak dokter masih menganut keyakinan yang keliru tentang nyeri.

Pada 2016, sebuah studi menemukan bahwa 50% mahasiswa kedokteran dan penduduk kulit putih di AS memiliki pandangan yang keliru dan berbahaya tentang orang kulit hitam dan pengalaman mereka tentang nyeri.

Studi lainnya menemukan hampir setengah dari populasi mahasiswa kedokteran pernah mendengar komentar negatif tentang pasien kulit hitam dari kolega senior mereka.

Tingkat bias rasial para mahasiswa itu tumbuh dengan signifikan selama empat tahun pertama pelatihan kedokteran.

Bias seperti itu berakar dari upaya-upaya sejarah untuk menjustifikasi perbudakan, termasuk klaim palsu bahwa orang kulit hitam punya kulit yang lebih tebal dan ujung saraf yang berbeda (dari orang kulit putih).

Sekarang, pasien kulit hitam di AS 40% lebih jarang mendapatkan perawatan karena nyeri yang mereka derita, dibandingkan pasien kulit putih.

Sementara itu, pasien hispanik 25% lebih jarang mendapatkan perawatan karena nyeri.

Diskriminasi rasial bukan satu-satunya bentuk prasangka yang memengaruhi perawatan nyeri. Bias seputar “perempuan yang histeris” masih dikenal dalam kedokteran, khususnya seputar rasa sakit.

Kajian terhadap 77 studi riset mengungkap beberapa istilah seperti “sensitif” dan “mudah mengeluh” lebih sering digunakan pada laporan tentang nyeri yang berasal dari perempuan.

Satu studi terhadap 981 orang menemukan bahwa perempuan yang datang ke UGD lebih jarang menerima obat pereda nyeri, dan mereka harus menunggu 33% lebih lama daripada laki-laki untuk dirawat.

Selain itu, ketika laki-laki dan perempuan melaporkan tingkat nyeri yang setara, laki-laki diberikan obat yang lebih kuat untuk mengatasinya.

Ekspektasi sosial tentang “perilaku normal” bagi laki-laki dan perempuan adalah akar pola ini, kata Anke Samulowitz, yang meneliti bias gender di Universitas Gothenburg di Swedia.

Bias ini ditambah dengan “perbedaan cara laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam perawatan kesehatan yang tidak dijustifikasi oleh ilmu kedokteran”.

Ia mencatat, kadang-kadang ada alasan bagus kenapa laki-laki dan perempuan menerima perawatan yang berbeda untuk keluhan tertentu.

“Perbedaan terkait hormon dan gen kadang-kadang mengakibatkan perbedaan dalam, misalnya, obat pereda nyeri,” ujarnya. “Tetapi semua perbedaan yang diamati dalam perawatan laki-laki dan perempuan dengan keluhan nyeri tidak bisa dijelaskan dengan perbedaan biologis.”

Dapatkah teknologi baru membantu menemukan cara untuk menghindari prasangka dan bias tentang nyeri di bidang kedokteran?

Halaman:

Komentar

Terpopuler