“Dia di Taman Kanak-Kanak selama dua setengah jam, lalu pulang dan menggunakan tablet di sore hari, atau menonton film, atau hanya melakukan hal-hal yang tidak produktif karena saya harus menyelesaikan pekerjaan saya," katanya.
"Dia sangat tidak termotivasi untuk melakukan hal lain."
Carpenter sendiri juga merasakan dampak negatifnya. Dia tidak merasa fokus bekerja seperti dulu, dan berjuang untuk menjadi seproduktif yang dia inginkan.
"Saya tidak mencapai '40 jam'," katanya.
“Saya merasa ketika dia ada di sini bersama saya, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh. Dan ketika dia di sekolah, saya hanya punya waktu dua setengah jam, lalu saya harus menyambutnya turun dari bus. Apa yang bisa saya lakukan dalam waktu itu? Terutama ketika sepanjang waktu saya hanya menunggu alarm saya berbunyi untuk menjemputnya.”
Dari 53 perempuan yang diwawancarai Zanhour, banyak yang melaporkan merasa seperti selalu tertinggal.
“Mereka benar-benar mengorbankan tidur, mengorbankan kesehatan pribadi mereka,” katanya.
“Mereka bangun lebih awal sebelum anak-anak untuk mengurus email, menghabiskan hari-hari mereka bolak-balik antara dua peran, dan setelah semua orang tidur, mereka mencoba untuk mengejar ketinggalan.”
Dan ketika, mau tidak mau, mereka tidak bisa, “mereka menganggapnya sebagai kegagalan”.
Szerbin mengatakan dia terus-menerus membuat kesalahan kecil di tempat kerja, karena perhatiannya terbagi.
“Saya tidak mendapatkan masalah karena itu, tetapi itu membuat saya merasa sangat bersalah dan malu karena saya tahu saya mampu melakukannya tanpa harus ada kesalahan sederhana itu."
"Dan saya tidak bisa berkata, 'ini terjadi karena saya merawat anak saya', jadi ada kekhawatiran dan kekhawatiran tambahan, 'apakah mereka akan mengungkit ini? Apakah saya akan mendapat masalah? Apakah saya akan kehilangan pekerjaan saya?’”
Masalah lain yang membuat situasi semakin rumit adalah beberapa orang tua merasa dilupakan sekarang karena begitu banyak yang telah kembali ke 'normal' di dunia kerja.
Pada awal pandemi, ketika sekolah ditutup dan tiba-tiba pekerjaan bisa dilakukan secara jauh tanpa harus ke kantor, para orang tua yang bekerja mendapatkan banyak pemahaman dan empati, jelas Zanhour, yang ikut menulis studi tentang pengalaman ibu yang bekerja selama dan pascapandemi.
"Apa yang kami lihat dari data kami adalah empati habis dengan cepat."
Seiring dengan stres, kecemasan, dan kelelahan, semua faktor ini telah memaksa beberapa ibu untuk mengubah karier mereka sepenuhnya.
Szerbin mengambil pekerjaan tatap muka penuh waktu, sementara ibunya merawat putrinya.
Itu bukan solusi yang sempurna, katanya.
“Rasa bersalah saya baru saja berkembang menjadi rasa bersalah yang berbeda. Sekarang saya merasa bersalah karena saya bekerja dan tidak merawat anak saya.”
Yang lainnya, seperti Carpenter, tetap terjebak tanpa solusi apa pun. Dia menghitung hari sampai putranya masuk kelas satu dan bersekolah sepanjang hari.
Sementara itu, dia tetap menjalaninya meskipun tidak tahu apa yang harus dia lakukan. “Saya marah,” katanya. "Saya benar-benar kewalahan."
Sementara itu, beberapa orang tua yang bekerja mungkin mendapati diri mereka mengulur-ulur waktu. Tidak ada solusi sederhana, kata Zanhour.
Untuk memecahkan masalah ini butuh “merancang ulang budaya tempat kerja sehingga menjadi ibu tidak harus bertentangan dengan profesionalisme”, katanya.
Ini mungkin jalan yang panjang. Untuk saat ini, sedikit lebih banyak empati mungkin akan bermanfaat.
Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The mothers working from home without childcare dapat anda baca di BBC Worklife.
Sumber: bbc.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid