Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?

- Senin, 15 Mei 2023 | 13:30 WIB
Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Peristiwa 1998 masih meninggalkan luka mendalam - bahkan setelah 25 tahun. Namun, bagaimana dengan generasi Z yang tidak mengalami masa itu? Bagaimana mereka memandang peristiwa ‘98 dan relevansinya pada masa sekarang?

Maria Catarina Sumarsih, atau yang sering disapa Sumarsih, mengaku sering mendapatkan pertanyaan di media sosial Twitter dari kalangan orang muda yang bingung mengapa ia sering hadir dalam aksi Kamisan yang digelar di depan Istana Negara.

Banyak yang kemudian bertanya, apa yang terjadi pada Sumarsih? Mengapa dia sering terlihat berdiri dekat lautan massa berbusana hitam dengan mengenakan kaos hitam bertulisan #SayaWawan seraya memegang payung hitam bertulisan 'Jangan Diam, Lawan'.

“Pernah ada yang bertanya, 'Ibu Sumarsih itu siapa?', 'Sebenarnya ada kasus apa?'. Pernah ada juga yang bertanya, 'Kenapa ada aksi Kamisan?', 'Kenapa kasus pelanggaran HAM harus diselesaikan?'," papar Sumarsih.

Ia kemudian bertutur kepada para penanya yang sebagian besar belum lahir saat Peristiwa 1998 terjadi.

Pada 13 November 1998, Sumarsih kehilangan putranya, Bernardus Realino Norma Irawan alias Wawan.

Wawan merupakan seorang mahasiswa Universitas Atmajaya jurusan Ekonomi Akuntansi yang saat itu tengah menempuh semester lima.

“Kuliahnya hanya sampai semester lima karena meninggal dunia dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998,” kata Sumarsih kepada BBC News Indonesia saat ditemui di aksi Kamisan yang ke-772, Kamis (04/05).

Di latar belakang, terdengar seruan mahasiswa yang menggunakan pengeras suara sambil memegang spanduk lebar bertuliskan, “25 Tahun Reformasi, KAMI BELUM LUPA”.

https://twitter.com/sumarsih11/status/1631551115996303361?s=

Sumarsih sendiri tidak heran ketika ada banyak orang di media sosial yang bertanya kepadanya mengenai aksi Kamisan dan Wawan.

Ia beberapa kali menjelaskan dengan sabar kepada para pemilik akun yang menanyakan hal-hal terkait Tragedi '98 kepadanya. Meski terkadang, ada juga yang mencibirnya dan menyuruhnya untuk merelakan saja kematian anaknya.

“Kemudian ada yang mengatakan bahwa anak saya adalah orang hilang. Saya cerita, anak saya tidak hilang, tetapi meninggal karena ditembak dengan peluru tajam ABRI. Makamnya ada di TPU Joglo Jakarta Barat,” kata Sumarsih yang kini berusia 71 tahun.

https://twitter.com/sumarsih11/status/1631282328789192708?s=20

Meski nama Sumarsih tidak asing di telinga generasi yang merasakan sendiri rentetan peristiwa pada 1998, sejumlah individu kelahiran 1998 ke atas alias Generasi Z atau Gen Z bahkan belum pernah mendengar nama Sumarsih.

Neysa Vania, seorang pekerja lepas desain grafis kelahiran 2000, mengaku belum pernah mendengar nama Sumarsih ataupun tokoh-tokoh aktivis '98 lainnya.

“Aku hanya mengetahui ada acara Kamisan. Tapi sayangnya aku enggak tahu siapa saja [yang hadir], Kamisan itu untuk siapa saja,” ungkap Neysa.

Ia mengatakan dirinya hanya mengetahui Peristiwa '98 sebagai tragedi besar yang akhirnya menggulingkan Presiden RI saat itu, Soeharto.

Saat masih sekolah, Neysa mengatakan masa kelam itu hanya dibahas sebatas satu sampai dua halaman dan itu pun “dibahas beberapa menit doang habis itu move on lagi topiknya”.

Sama seperti Neysa, Azaria Kurnia atau yang sering disapa Ary, juga tidak tahu siapa sebenarnya Sumarsih.

Meski sebelumnya ia pernah mendengar soal Peristiwa '98 saat mata pelajaran sejarah di sekolah atau saat mengikuti kegiatan organisasi di kampus, ia jarang sekali mendengar pembahasan tentang para tokoh-tokoh Tragedi '98.

“Lebih banyak cerita-cerita sehubungan dengan apa yang terjadi, tragedinya seperti apa, orang-orangnya bermasalahnya seperti apa waktu itu. Tapi tokoh-tokohnya secara spesifik hampir tidak pernah [dibahas],” kata Ary yang merupakan karyawan swasta kelahiran 2000.

Baca juga:

Meski belum lahir saat Peristiwa 1998 terjadi, Neysa Vania masih mengingat beberapa kisah yang diceritakan oleh keluarganya mengenai insiden-insiden saat itu.

Sebuah cerita yang paling dia ingat adalah ketika toko kelontong milik tantenya dijarah habis-habisan oleh massa.

“Pada saat Mei 1998, toko kelontongnya dijarah. Jadi semua jualannya seperti beras, air, telor, semua itu ludes. Jadi benar-benar toko kelontongnya dijarah... tapi untungnya satu keluarga aman,” kata Neysa.

Ia mengatakan kedua orang tuanya saat itu berlindung di bank tempat mereka bekerja. Ibunya berhasil pulang ke rumah dengan bantuan sopir angkot yang mengantarkannya lewat jalan tikus.

“Dia melihat orang-orang membawa pisau, membawa senjata, semua dibakar. Pada saat itu mama saya hanya berpikir, kalau bisa pulang selamat dengan mentalnya masih sehat, itu sudah bersyukur banget. Dan saya tidak bisa membayangkan se-menakutkan apa kejadian itu,” ujarnya.

Walau begitu, Neysa mengaku orang tuanya jarang membahas apa yang terjadi dalam Peristiwa 1998 dengannya.

Mereka hanya akan membicarakan hal itu jika Neysa bertanya. Ia sendiri juga terkadang merasa enggan untuk bertanya tentang 1998 karena tidak ingin mengungkit trauma.

“Banyak generasi saya lahir setelah itu. Mereka enggak tahu apa-apa. Dan terkadang keluarganya juga tidak mengangkat itu karena trauma, karena memang menakutkan.

“Mereka tidak merasa bahwa menceritakan suatu hal yang sangat menakutkan itu akan berguna untuk saya ke depannya,” kata Neysa.

Azaria Kurnia juga sering mendengar kisah dari orang tuanya yang saat itu hendak menggelar resepsi pernikahan di sebuah restoran pada Mei 1998. Namun, akibat kerusuhan yang saat itu terjadi, mereka terpaksa menundanya.

“Jadi waktu itu papa sama mama saya sudah pesan sebuah restoran untuk tempat mereka menikah. Tapi ternyata di Peristiwa 98, restoran itu dibakar. Jadi sudah bayar DP [uang muka], sudah siapkan semua kegiatannya, tapi tiga hari sebelum acara resepsi pernikahan itu dilaksanakan restorannya dibakar.

“Jadi mereka terpaksa memindahkan acara pernikahan ke kampung, ke daerah Sukabumi yang ada di luar Jakarta,” jelas Ary.

Berdasarkan pengamatannya, memang ada kecenderungan generasinya tidak mengetahui banyak tentang Peristiwa 98.

Sebab, sambungnya, peristiwa-peristiwa di masa itu jarang dijelaskan secara spesifik dan seringkali kaum muda yang belum lahir saat itu hanya diberikan penjelasan secara umum.

“Kami hanya dijelaskan ada masalah, ada kerusuhan besar, dan lain-lain. Sehingga mungkin menutupi detail-detail spesifik sehubungan dengan orang-orangnya, akar permasalahannya, kerusuhannya,” kata Ary.

Selain itu, ia merasa bahwa 1998 merupakan masa yang kelam dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, mungkin generasi yang lebih tua secara sadar memilih untuk tidak menceritakan keburukannya secara rinci.

“Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan pada saat itu menjadi sangat-sangat terbatas, terutama bagi golongan-golongan tertentu.

“Jadi untuk menceritakan itu kembali mungkin hanya poin-poin tertentu yang menurut mereka menarik atau lucu untuk diceritakan. Ketimbang mengingat tragedi-tragedi yang mungkin sangat-sangat memilukan di tahun tersebut,” ungkapnya.

Ary mengatakan sebenarnya ia tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Peristiwa 1998, khususnya dari perspektif para tokoh yang terdampak langsung.

Halaman:

Komentar

Terpopuler