Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?

- Senin, 15 Mei 2023 | 13:30 WIB
Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?

Namun, ia juga sadar ada perasaan khawatir bahwa pertanyaan yang ia ajukan bisa memicu kembali perasaan sedih ataupun trauma dari para korban.

“Kalau bertemu secara langsung, bertanya dan mengulik, terutama dengan mereka pernah mengalami tragedi yang memilukan di tahun tersebut, mungkin saya jadi cukup enggan dan agak takut juga,” ujar Ary.

Baca juga:

Franz Magnis-Suseno, atau yang akrab disapa Romo Magnis, duduk tegak di depan mikrofon saat ia hendak memberi kata sambutan kepada para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada acara bertajuk Gowes dan Aksi Kamisan 25 Tahun Reformasi.

“Saya masih ingat 14 Mei 1998, saya ketua STF di sini. Mereka ingin membebaskan orang-orang di penjara dan meminta bersembunyi di STF Driyarkara, saya menolak,” kata Romo Magnis.

Dia mengaku khawatir para tahanan itu akan ditemukan oleh aparat dan membahayakan para mahasiswa di kampus tersebut.

Pimpinan STF Driyakarya itu mengatakan bahwa kampus tempat ia mengajar memang memiliki kaitan erat dengan Peristiwa 1998.

Dari 13 aktivis yang diculik pada 13 Maret 1998, kata dia, salah satunya merupakan mahasiswa STF Driyakarya yang bernama Petrus Bima Anugerah.

“Bagi saya sendiri reformasi itu peristiwa yang paling emosional dan mengesankan bagi hidup saya,” kata Romo Magnis di hadapan para mahasiswa.

Menurut dia, Peristiwa 1965-1966 dan Peristiwa 1998 merupakan dua tragedi yang membentuk Republik Indonesia menjadi sistem yang dikenal sekarang. Sehingga, ia anggap keduanya masih sangat relevan bagi masyarakat.

“Kita hidup di dalam suatu sistem yang jauh lebih bebas, manusiawi, dan memungkinkan orang berkembang. Mungkin ada yang tidak sadar dan menganggap itu biasa. Tetapi de facto pengaruh reformasi saya anggap luar biasa,” kata Romo Magnis kepada BBC News Indonesia, Kamis (4/5).

Reformasi, sambungnya, telah membuat Indonesia menjadi suatu negara yang demokratis. Meski demikian, menurut dia, wajar saja jika kalangan orang muda tidak terlalu banyak mengerti sejarah Indonesia, cenderung mengabaikannya, atau terima jadi saja.

“Mungkin mereka tidak terlibat, belum lahir. Mungkin mereka tidak dikonfrontasikan dengan apa yang terjadi. Media sosial itu tentu sesuatu yang instan. Jadi yang hari ini ramai dibicarakan, itu yang dibicarakan. Namun, saya mengharapkan orang tidak hanya hidup dari yang instan, tapi tahu latar belakang,” jelasnya.

Baca juga:

Selain itu, ia berharap anak muda dapat bersikap kritis terhadap pemerintah. Khususnya dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sebab menurutnya, pemerintah masih belum sepenuhnya membuka.

“Mereka tahu itu masalah yang peka, masalah yang tidak populer, mungkin juga tidak berani mengangkatnya. Itu menunjukkan bahwa masalah-masalah itu jauh dari selesai, karena itu ditutup.

“Ditutup bukan berarti masalahnya tidak ada. Karena tidak berani diangkat kita justru bisa bertanya mengapa tidak berani? Karena masyarakat sebagian besar mendukungnya. Itu pun tidak didiskusikan,” ujar Romo Magnis.

Oleh karena itu, ia berharap generasi muda bisa ikut proaktif dalam mencari tahu mengenai latar belakang Indonesia. Tak hanya itu, generasi tua pun juga perlu terbuka dalam membicarakan Peristiwa ’98 agar orang muda bisa semakin paham.

“Jadi saya hanya bisa mengharapkan generasi tua dapat membantu yang muda mengerti sejarah. Orang yang tidak tahu sejarahnya pribadi dia tidak tahu dirinya sendiri.”

Di tengah keramaian aksi Kamisan yang dipenuhi payung-payung hitam, seorang perempuan muda duduk di pinggiran. Ia menggenggam erat penanya sambil menulis sebuah puisi di secarik kertas yang ia ambil dari buku tulisnya.

Perempuan itu bernama Sangayu Piwulang Sae. Ia adalah seorang mahasiswa Ilmu Filsafat dari Universitas Indonesia. Ia datang ke aksi Kamisan karena ia sedang mempelajari Peristiwa ’98 melalui mata kuliah Filsafat dan HAM.

Dia sudah lama mengenal sosok Sumarsih dari akun Instagram-nya yang sering membagikan informasi seputar Kamisan dan penyelesaian pelanggaran HAM.

“Sejauh yang saya tahu, Kamisan ini dimulai oleh Ibu Sumarsih yang adalah ibu dari Wawan. Salah satu mahasiswa aktivis yang meninggal di Peristiwa '98. Sampai saat ini Wawan belum mendapat keadilan atas kejahatan yang dilakukan oleh negara,” kata Sangayu sambil mengusap air mata yang mengalir.

Perkataan Sumarsih yang ia selalu ingat adalah bahwa apa yang terjadi pada Wawan bisa terjadi pada siapa saja.

Sangayu mengatakan tragedi itu menjadi bukti nyata bahwa negara pernah dengan seenaknya mengambil nyawa seorang mahasiswa yang sedang menyampaikan pendapatnya.

“Kami mengetahui bahwa hal yang terjadi di tahun '98 bukanlah mustahil untuk terulang kembali. Bahwa bagaimana kebiasaan kita untuk mengabaikan ketidakadilan-ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita bisa terus bertumpuk-tumpuk dan menghasilkan ketidakadilan yang lebih besar lagi,” tegas Sangayu.

Bahkan, ia sangat tergerak hatinya oleh suasana pada aksi Kamisan tersebut sehingga ia menulis puisi mengenai perjuangan Sumarsih untuk mendapatkan keadilan bagi anaknya yang bertajuk “Ibuku berdiri di sini”.

Baca juga:

Ibuku berdiri di sini

Karya: Sangayu Piwulang Sae, 2023.

Ada hari yang dihitung dalam angka

Ada gema yang terus keluar dari toa

Wajah demi wajah berganti

Suara perempuan, suara laki-laki

Undang-Undang agaknya diperbarui

Mobil, motor, manusia, tidak lelah-lelahnya

Gedung-gedung semakin tinggi

Pohon bergantian ditumbangi

Melewati itu semua, ibuku berdiri di sini

Ia berharap akan ada lebih banyak orang muda yang - meski tidak merasakan secara langsung zaman itu - bisa ikut memperjuangkan keadilan dan berdiri bersama para korban yang terdampak.

“Untuk saya pribadi, saya melihat Bu Sumarsih dan saya tidak bisa membayangkan kesedihan yang dia rasakan: kehilangan seorang anak di tangan negara,” kata Sangayu sambil memandang ke arah massa. Ia tak kuasa menahan air matanya.

Sumber: bbc.com

Halaman:

Komentar

Terpopuler