Praktik aborsi ilegal yang diduga dilakukan seorang dokter gigi di Bali, dengan total mencapai 1.300 pasien, adalah salah satu bentuk ekses dari kebijakan yang tidak pernah bisa jelas tentang pengguguran kandungan, kata Center for Indonesia’s Strategic Developmen Initiatives (CISDI).
Di sisi lain, Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, yang mendampingi korban pemerkosaan, mengatakan, walau telah diatur dalam undang-undang dan aturan turunannya, hingga kini tidak ada praktik layanan aborsi aman yang bisa diakses oleh korban kekerasan seksual.
Sehingga, dalam pelaksanannya, banyak sekali kebuntuan-kebuntuan secara sistematis dan struktural ketika korban ingin mengakses aborsi secara legal, tambah WCC Jombang.
Terkait itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes mengikuti aturan yang telah tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu aborsi adalah tindakan yang dilarang, dan dikecualikan jika ada indikasi kedaruratan medis.
Sebelumnya, Polda Bali menggerebek praktik aborsi di Bali yang dilakukan oleh dokter gigi, berinisial KAW (53 tahun).
Tersangka KAW mengaku, pasiennya rata-rata merupakan perempuan yang berstatus pelajar, mahasiswa, dewasa yang belum memiliki status perkawinan, dan juga korban pemerkosaan.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali menangkap seorang dokter gigi, berinisial KAW, yang diduga melakukan praktik aborsi ilegal di Kabupaten Badung, Bali.
Dalam keterangan pers, Senin (15/05), Wadireskrimsus Polda Bali AKBP Pol Ranefli Dian Candra mengatakan, KAW merupakan residivis kasus aborsi pada tahun 2006 yang dihukum 2,5 tahun penjara, dan kembali divonis enam tahun penjara pada tahun 2009 dengan kejahatan yang sama.
"Kemungkinan [ada 1.338 orang pasien yang sudah ditangani tersangka] dari hasil penyelidikan anggota di lapangan, dari awal dia praktik sudah sekian," kata Ranefli kepada wartawan pada Senin (15/05), dikutip dari Kompas.com.
Ranefli menambahkan, KAW mengaku pasiennya rata-rata adalah perempuan yang berstatus sebagai pelajar, mahasiswi, hingga dewasa, dan ada juga korban pemerkosaan.
"Kalau alasan yang bersangkutan karena panggilan, melihat anak-anak yang datang masih sekolah, masih SMA dan kuliah sehingga alasannya kepada kami, kasihan terhadap anak tersebut masa depannya seperti apa tapi caranya salah, secara aturan tidak benar ini," kata Ranefli.
Saat penangkapan pada Senin (08/05), kata Ranefli, KAW tengah melakukan praktik aborsi terhadap seorang pasien dan ditemukan seperangkat alat kedokteran yang digunakan untuk melakukan aborsi dengan obat-obatan bius.
“KAW alias dokter A langsung diamankan dan yang bersangkutan mengakui perbuatannya telah melakukan praktik aborsi [ilegal] sejak tahun 2020 dan sudah mengaborsi sekitar 20 pasien dengan tarif rata-rata 3,8 juta per pasien,“ kata Ranefli.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat pasal berlapis dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Dugaan praktik ilegal yang dilakukan KAW di Bali itu, menurut pendiri Center for Indonesia’s Strategic Developmen Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, merupakan tindakan kriminal yang muncul dari adanya kesempatan bahwa ada banyak permintaan, namun tidak ada akses untuk mendapatkan aborsi aman.
“[Tindakan kriminal] ini yang menjadi ekses dari kebijakan yang tidak pernah bisa firm tentang aborsi. Ini adalah ekses dari situasi tersebut,“ kata Diah kepada BBC News Indonesia, Selasa (16/05).
Diah menambahkan, selama berpuluh-puluh tahun, terjadi perdebatan dan tarik menarik kepentingan dalam memandang aborsi, di antara norma agama dan norma negara, yang akhirnya menyebabkan ketidakjelasan aturan dan pelaksanaan, sehingga perempuan terus menjadi korban.
“Apabila masih ada perdebatan seperti ini terus, maka akan susah mencapai angka kematian ibu sesuai target SDGs. Padahal indikator keberhasilan pembangunan, salah satu yang penting adalah maternal mortality ratio. Ini seperti lingkaran setan yang tidak pernah selesai. Bagaimana mau menurunkan angka kematian ibu jika soal aborsi tidak diselesaikan,” tambah Diah.
Pada tahun 2030, Indonesia menargetkan pengurangan rasio angka kematian ibu (AKI) hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Badan Kesehatan Dunia WHO melaporkan pada 2017, estimasi AKI Indonesia berada di angka 177 per 100.000 kelahiran.
Dalam riset Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), merujuk sebuah penelitian, bahwa pada 2018 jumlah aborsi di pulau Jawa mencapai 1,69 juta atau 42,5 aborsi per 1.000 perempuan dari usia 15-49 tahun.
Penelitian sebelumnya, tahun 2000, di enam wilayah di Indonesia, estimasi aborsi berjumlah 37 untuk setiap 1.000 perempuan.
Riset itu juga menjelaskan bahwa secara normatif Indonesia memiliki beberapa peraturan mengenai pelaksanaan aborsi aman untuk kondisi terbatas, yaitu kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
“Namun implementasinya masih bermasalah, dan di dalam beberapa kasus permohonan pelaksanaan aborsi secara legal pun tidak didukung oleh beberapa instansi pemerintah."
"Beberapa hambatan yang menjadi catatan dalam pelaksanaan aborsi aman adalah administratif pelaksanaan aborsi dan sistem penyelenggaraan aborsi aman yang belum memadai di Indonesia,” tulis dalam laporan itu.
Di tengah ketidakjelasan kebijakan tentang aborsi akibat perdebatan panjang antara norma agama dan norma negara, Diah menawarkan titik tengah dengan melihat dari perspektif kesehatan publik.
“Bagaimana titik tengahnya? Adalah dari perspektif public health dijadikan patokan."
"Apabila kehamilan mengancam kesehatan fisik, mental, berasal dari kehamilan tidak diinginkan seperti kekerasan seksual, lalu tidak siap secara kesehatan, sosial dan ekonomi, maka aborsi menjadi sebuah pilihan dan tidak lagi jadi pertanyaan,” kata Diah.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid