Praktik dugaan aborsi ilegal ribuan pasien di Bali - ‘Dampak dari kebijakan dan mekanisme yang tidak bekerja‘

- Rabu, 17 Mei 2023 | 19:30 WIB
Praktik dugaan aborsi ilegal ribuan pasien di Bali - ‘Dampak dari kebijakan dan mekanisme yang tidak bekerja‘

"Kita masuk dalam kerangka pikir rasional kesehatan yaitu public health, dimana seseorang membutuhkan [aborsi] untuk menyelamatkan nyawanya, tiada lain dari itu."

Senada, Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah mengatakan, Indonesia tidak memiliki praktik terbaik bagi para korban kekerasan seksual dalam mengakses aborsi aman.

Ana merujuk pada salah satu pengalamannya melakukan pendampingan seorang anak sekolah dasar (SD) yang hamil diperkosa oleh pria paruh baya pada Juli 2021 lalu.

“Pengalaman saya melakukan pendampingan, banyak sekali kebuntuan-kebuntuan secara sistematis dan struktural," kata Ana.

"Tidak ada best practice layanan berbasis masyarakat yang bisa memenuhi aborsi aman. Masa anak SD diperkosa kakek harus melanjutkan kehamilan."

Ana menjelaskan, saat itu korban memiliki usia kehamilan enam bulan. Namun karena proses koordinasi yang panjang untuk melakukan aborsi legal, mencapai dua bulan, maka kehamilan semakin besar dan korban akhirnya melahirkan.

“Ini bentuk viktimisasi terhadap korban akibat kegagalan sistem dalam merespon masalah ini,“ kata Ana.

Ana bercerita, kebuntuhan pertama terjadi saat melaporkan kasus pemerkosaan ini, di mana pihak penegak hukum mewanti-wanti untuk tidak melakukan aborsi karena akan berimplikasi hukum.

"Terus saat kami koordinasi dengan kepolisian, mereka kembali bilang bahwa tidak bisa mendukung karena mengaku tidak punya pengalaman," kata Ana.

Kemudian, saat Ana meminta rujukan ke puskesmas hingga rumah sakit daerah untuk mengakses aborsi, tenaga kesehatan itu meminta rekomendasi dari kepolisian yang menunjukkan korban pemerkosaan.

“Itu kan aneh, korbannya anak, tidak mungkin dikenakan pasal perkosaan karena lex specialis UU Perlindungan Anak,“ katanya.

Kemudian, Ana membawa kasus itu ke rapat kordinasi antar pengambil kebijakan di wilayahnya, dan pihak kesehatan mengatakan bawah kehamilan korban sehat sehingga dapat dilanjutkan.

“Sehatnya masih dianggap secara fisik, sementara kesehatan mental, ekonomi, dan sosial tidak dipertimbangkan. Itu yang tidak menjadi satu analisis komperhensif,“ katanya.

Ana menambahkan, implementasi pelaksanaan aturan aborsi dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan turunannya, masih belum implementatif, ditambah minimnya sarana dan prasarana yang disediakan negara untuk aborsi aman.

Akibatnya, lanjutnya, banyak perempuan dan korban kekerasan seksual memilih jalur ilegal yang beresiko dan membahayakan nyawa mereka.

“Ini [kasus anak SD] jelas-jelas kasusnya ada, korban kekerasan seksual, masih anak, usia kehamilan cukup, tapi dalam pelaksanannya, mekanismenya tidak bekerja.“

“Apalagi bagi mereka yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dan ingin melewati jalur resmi, akan sangat sulit. Akhirnya, banyak yang diam-diam, aman tidak aman dirasakan sendiri, dampak dirasakan sendiri,“ kata Ana.

Akar dari banyak perempuan yang akhirnya memilih jalur aborsi ilegal adalah karena tidak adanya mekanisme pelaksanaan yang jelas.

Untuk itu menurut Ana, perlu dibuat gebrakan dengan cara menunjuk layanan kesehatan yang menjadi rujukan dalam melakukan aborsi aman.

“Kalau butuh layanan, ada aturan jelas untuk dirujuk ke rumah sakit mana. Lalu ditunjuk pihak yang menilai kelayakan perempuan penerima manfaat. Koordinasi berlangsung cepat dan tidak berlarut,“ kata Ana.

Terkait dengan kritikan tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes mengikuti aturan yang telah tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu aborsi adalah tindakan yang dilarang, dan dikecualikan jika ada indikasi kedaruratan medis.

“Aborsi di Indonesia sebenarnya suatu yang dilarang. Tetapi dalam kaitannya kesehatan reproduksi, larangan aborsi dikecualikan, indikasi kedaruratan medis, kehamilan akibat perkosaan, dan ini tata caranya sudah diatur pada pasal selanjutnya tentang siapa yang kompeten dan memiliki keterampilan,“ kata Siti Nadia.

Pasal 75 UU Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.

Namun, larangan itu dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Pasal 76 mengatakan, aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

Aturan tentang usia aborsi kemudian diperbaharui dalam Pasal 463 ayat 2 KUHP Baru yang mengizinkan perempuan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan dapat melakukan aborsi saat umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

Sumber: bbc.com

Halaman:

Komentar

Terpopuler