"Anak-anak tinggal di ruang yang tidak higienis dan padat, yang menyebabkan berbagai penyakit menular dan infeksi," jelas Dr Tanvir Ahmed dari badan amal Doctors Without Borders.
Terlepas dari upaya mereka, Dr Ahmed mengatakan anak-anak Rohingya terjebak dalam siklus penyakit, di mana mereka jatuh sakit, dirawat, sebelum kembali ke kondisi tidak higienis yang sama di kamp, dan jatuh sakit lagi.
Kurangnya akses terhadap makanan bergizi dan sehat juga menjadi faktor besar.
"Kadang kami bisa makan, kadang tidak," kata Mohsena dengan raut wajah sedih yang mendalam.
Untuk makanan, pengungsi Rohingya hampir sepenuhnya bergantung pada lembaga bantuan, menerima voucher bulanan untuk makanan, yang dapat mereka tukarkan di pusat distribusi PBB, untuk membeli bahan pokok seperti beras, ayam, sayuran, dan lentil.
Bulan lalu bantuan makanan yang diandalkan para pengungsi dipotong dari $12 (senilai Rp177 ribu) per bulan, menjadi $10 (senilai Rp148 ribu). Pada Juni, jatah itu akan dikurangi lagi, menjadi hanya $8 (senilai Rp118 ribu).
Program Pangan Dunia (WFP) yang dikelola PBB mengaku terpaksa melakukan pemotongan karena penurunan pendanaan internasional - perang di Ukraina telah menggelembungkan anggaran bantuan dan dana dari negara-negara donor utama seperti AS.
Mohsena sudah kehabisan makanan bulan ini. Wadah plastik yang seharusnya diisi nasi, lentil, gula, dan rempah-rempah semuanya kosong, dan bahan yang tersisa hanyalah setengah panci garam dan bawang putih.
Sampai mereka mendapatkan ransum berikutnya, mereka hidup dari sebagian kecil kari ikan dan ayam berumur sehari, disimpan dalam panci logam di samping, dan mungkin harus meminta makanan dari keluarga lain.
"Kami terus-menerus khawatir bagaimana kami akan bertahan hidup. Bagaimana kami bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami?" kata Mohsena.
Suaminya Nurul, yang berusia 22 tahun, bekerja hanya beberapa hari dalam sebulan. Dia melakukan kerja paksa atau membersihkan selokan yang bau, tetapi hampir setiap hari dia terpaksa duduk di rumah.
Selama kunjungan kami, dia duduk diam di sudut, menidurkan anak bungsu mereka.
Ketika topan Mocha menghantam kamp, sebuah pohon kecil tumbang dan menghantam tempat berlindung mereka, membengkokkan beberapa struktur bambu yang tipis.
Baca juga:
Sebagai bukti betapa tangguhnya para pengungsi Rohingya, Nurul berhasil memperbaiki pondok beberapa jam setelah badai berlalu.
Namun, para pengungsi tidak diizinkan meninggalkan kamp untuk bekerja, dan pekerjaan di dalamnya langka - 95% pemuda di kamp menganggur, menurut laporan tahun 2022 dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC).
Bangladesh membatasi segala jenis integrasi antara pengungsi dan penduduk lokal dan bahkan tidak mengizinkan pengungsi Rohingya untuk diajari bahasa atau kurikulum lokal.
Setelah menampung para pengungsi selama lima tahun, pemerintah Bangladesh kini ingin memulangkan mereka kembali ke Myanmar secepat mungkin.
Dalam wawancara dengan BBC, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina meminta seluruh dunia untuk memikul lebih banyak tanggung jawab.
"Mereka tidak bisa membebani kami selamanya," katanya. "Negara kami kelebihan penduduk dan rakyat kami sudah menderita."
Namun, para pengungsi Rohingya mengatakan mereka hanya akan kembali ke Myanmar jika keamanan mereka terjamin - dengan perang saudara yang terus berlanjut, itu adalah permintaan yang tidak mungkin.
Kerugian mental dari krisis pengungsi ini adalah kisah lain yang tak terhitung.
"Saya tidak ingin anak saya menderita seperti saya," kata Nurul. "Saya ingin dia mengenyam pendidikan dan memulai bisnis."
Namun, itu akan menjadi tantangan.
Anak-anak Rohingya tidak memiliki akses ke pendidikan formal. Sekolah tidak diizinkan di kamp dan mereka tidak dapat bersekolah di sekolah lokal Bangladesh di luar.
Untuk menutup beberapa celah, lembaga bantuan dan relawan telah mendirikan ruang kelas darurat di dalam kamp.
UNICEF mengatakan sekitar 5.000 pusat pembelajaran seperti ini masih beroperasi, banyak di antaranya dikelola oleh guru tanpa kualifikasi formal.
Anwar pergi ke salah satu pusat pembelajaran di dekat rumahnya hanya beberapa jam sehari. Dan meskipun dia hanya pernah tinggal di Bangladesh, pelajarannya berbahasa Burma, bahasa negara yang ditinggalkan orang tuanya.
Ketika Anwar bertanya kepada Mohsena di mana dia dilahirkan, dia mengatakan kepadanya bahwa hidupnya dimulai di kamp pengungsian ini.
"Apakah aku sudah pernah melihat Myanmar, Bu?" dia bertanya padanya.
"Tidak, kamu belum pernah," jawabnya.
Lima tahun dari sekarang, di mana Anwar akan berada?
Laporan tambahan dan foto oleh Neha Sharma dan Aamir Peerzada.
Sumber: bbc.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid