DosenĀ Unika Soegijapranata Semarang ini melanjutkan, pamer kesedihan atau kekurangan berupa mental illnessĀ kemungkinan juga ingin menunjukkan perjuangan lebih keren.
"Lihat aku ini orang depresi, orang kepribadian ambang, tapi aku bisa lulus loh," katanya memberi contoh.
Menurut Christin, orang tersebut menonjolkan gangguan jiwa untuk memamerkan bahwa sebenarnya perjuangan yang dilaluinya luar biasa.
Kendati demikian, lanjutnya, curhat dengan gaya seperti ini di media sosial memiliki banyak kerugian dan berisiko menambah masalah.
Apabila menghadapi masalah, akan lebih baik bercerita kepada pihak berkompeten, seperti orangtua, teman, atau profesional termasuk psikolog.
"Itu akan mendapat solusi yang tepat. Tapi kalau curhat di media sosial justru masalah kita tidak akan selesai," ungkapnya.
Sebab, media sosial berpotensi melahirkan komentar-komentar tidak pas yang akan menambah masalah orang.
Christin menambahkan, sebelum membagikan konten berbau gangguan jiwa, sebaiknya pikirkan apakah ada manfaatnya atau tidak.
Misalnya, penderita depresi membagikan tips mengatasi penyakitnya, meski dirinya juga masih berjuang.
"Ini berguna juga untuk orang lain, itu oke," kata dia.
Namun, apabila hanya untuk pamer kesedihan, lebih baik apabila tak diunggah lantaran dapat menularkannya kepada orang lain.
"Orang yang tadinya tidak tahu kalau dia depresi dan semangat-semangat saja dalam hidup karena melihat ciri-ciri kita itu, mereka kayak jadi ketularan," ujar Christin.
"Oh jangan-jangan saya depresi. Ini malah membuat masyarakat makin bergangguan," pungkasnya.
Sumber: kompas.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid