Namun ayahnya memberi sinyal menolak untuk diwawancarai Tribun Kaltim sambil mengatakan� tidak memiliki banyak waktu, lantas beranjak pergi sambil berkata, "Dia kerja. Jangan diganggu."
Sama halnya dengan orangtua Joko, Supri (48), yang irit bicara saat diwawancarai awak Tribun Kaltim di kediamannya di Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan.
Dia berdalih bahwa aktivitas berjualan yang dilakukan anaknya merupakan inisiatif pribadi Joko, bukan lantaran suruhan orangtua.
Supri mengamini jika ekonomi keluarga terbantukan dengan melepas anaknya ke keramaian orang, menjajakan tisu yang dibanderol Rp5 ribu per paks.
Tak jarang, penghasilannya sebagai buruh serabutan tertandingi oleh pemasukan dari Joko.
Baca juga: Kejar Provinsi Ramah Anak, DP3AP2KB Kaltara Fokus Kepada Dua Daerah Ini
Ia menyebut anaknya, Joko, anak yang pekerja keras. Dia menolak jika anaknya disebut pengemis atau disebut ekploitasi anak.
Baginya, Joko hanya mencoba membantu untuk menghidupi keluarga sambil melakukan semampunya.
"Saya tidak memaksa. Dia sendiri yang pilih untuk berjualan," ucap Supri membenarkan.
Fenomena Sosial Baru
Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Kaltim, AKBP Teguh Nugroho menyimpulkan, kondisi� demikian merupakan fenomena sosial yang sejatinya belum lama muncul di Balikpapan.
Dalam sebulanan ini, pihaknya telah menelusuri dan memetakan persebaran potensi eksploitasi anak di bawah umur.
"Ada kurang lebih 20 titik yang menjadi tempat beroperasi mereka. Seperti ATM, lampu merah, kemudian supermarket dengan berbagai modus.
Bukan hanya di Balikpapan, tapi se-Kaltim," ungkap Teguh kepada Tribun Kaltim.
Secara rentang usia, Teguh menyebut, berkisar antara 5-12 tahun sudah berkeliaran mencari uang, menghidupi diri sendiri bahkan keluarganya.�
Teguh membeberkan, mereka bergerak atas suruhan orangtuanya. Lebih parah bahkan ada yang sengaja mengoordinir anak-anak tersebut untuk disebar di Balikpapan dan bekerja.
"Informasi ini kami terima dari Satpol PP Balikpapan. Masih kami selidiki. Cuma kami berkomitmen, apabila terbukti, maka kami akan lakukan penegakan hukum," Teguh menegaskan.
Beberapa upaya sudah dilakukan. Misalnya memberi imbauan kepada orangtua si anak untuk ketat mengawasi.
Jangan justru memberi perintah agar bekerja di jalan yang berpotensi menjadi bahaya bagi si anak.
Baca juga: Tak Boleh Ada Asap Rokok, Bupati Bulungan Ingin Tebu Kayan Jadi Ruang Ramah Anak dan Bebas Polusi
Upaya tersebut dipertebal dengan preventif atau pencegahan. Bentuknya patroli hingga menampugn pengaduan melalui media sosial.
Dan terakhir dengan upaya represif. Berdasarkan kondisi di lapangan, Teguh berpendapat, tidak menutup kemungkinan bahwa orangtua anak dapat menjadi tersangka.
"Karena menelantarkan anak saja bisa kena pidana, apalagi memperkerjakan," tuturnya.
Dia mengatakan, dalam persoalan anak bekerja ini, faktornya bukan hanya soal ekonomi semata. Melainkan juga kekeliruan pola asuh yang berimbas pada pola pikir anak yang rusak.
Teguh mencontohkan, pola pikir yang terbentuk pada anak-anak tersebut adalah mereka yang sudah enggan untuk menempuh pendidikan alias menolak untuk bersekolah.
"Mereka ini tidak ada yang bersekolah. Sudah tahu enaknya cari uang, jadi keterusan. Kan ini pola asuh yang salah," ulas Teguh.
Sebab itu, perlu kerja sama semua pemangku kepentingan demi mengentaskan permasalahan ini.
Pasalnya untuk penanganannya perlu secara komprehensif dan tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum.
"Dalam penegakan hukum yang efektif adalah dengan hit and fix. Artinya setelah kita tindak, ada perbaikan," pungkasnya.(m19)
Sumber: kaltara.tribunnews.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid