OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
SITUASI Pulau Rempang mencekam dan penuh kekerasan sejak tanggal 7 September lalu. Aparat gabungan diterjunkan untuk mengawal aktivitas pengosongan lahan yang dihuni 10.000 penduduk, yang sudah hidup sejak jaman Belanda di sana.
Berbagai kekerasan itu antara lain adalah banyaknya warga dan bayi kena gas air mata, pemukulan fisik dan diantaranya harus dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan.
NU Online dalam berita "Duduk Perkara PSN Pulau Rempang yang Picu Bentrok Aparat dan Warga" (9/9/23), mengatakan bahwa pemerintah mendapatkan arahan implementasi dari investasi pembangunan pabrik kaca asal Chengdu China, dalam dua bulan, sejak Juli lalu.
Bahlil, Menteri Investasi, yang ditugaskan untuk merealisasikan pembangunan ini mengatakan bahwa pembangunan ini akan menciptakan lapangan kerja yang besar serta pertumbuhan ekonomi wilayah yang tinggi pula.
Namun, Tempo online, dalam "Lembaga Adat Melayu Sebut Warga Rempang Merupakan Suku Melayu Pertama di Batam" (9/9/23), mengatakan bahwa masyarakat di sana tidak mau digusur, karena terdapat ikatan batin antara mereka dan lahan. Mereka ingin, jika ada pembangunan, mereka dilibatkan sebagai stakeholder, bukan sekedar objek pembangunan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Mahfud MD, dalam pernyataannya terkait hak atas lahan dan pengosongan lahan mengatakan bahwa tidak ada penggusuran terhadap rakyat. Asumsi Mahfud adalah tanah itu milik negara yang sudah diserahkan kepada satu entitas usaha pada tahun 2001 dulu.
Kesalahan menurutnya terjadi karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan hak kepada entitas lainnya ketika pemilik hak pertama tidak mengolah lahan tersebut. Sehingga ketika ada rencana program strategis pemerintah (PSN) di Rempang, pemilik hak awal, kembali mengklaim tanah tersebut, namun perlu dikosongkan.
Hal ini berbeda dengan klaim masyarakat Melayu di sana, yang mengatakan bahwa kepemilikan tanah di sana sudah terjadi sejak jaman Belanda. Dan masyarakat ini menjadi penjaga pulau terluar negara Indonesia, berhadapan dengan Singapura dan Malaysia.
Mahfud tentu saja meremehkan keberadaan manusia-manusia di sana yang hak-haknya atas kehidupan yang layak dijamin undang-undang. Negara tidak bisa mengklaim begitu saja hak atas tanah bangsa ini, kemudian memberikan pada satu orang tanah seluas 17.000 hektare. Ini adalah pola masa lalu, di mana pembangunan bersandar pada segelintir elit dan mengabaikan rakyat sebagai stakeholder. Apalagi jika nantinya banyak pekerja yang dibutuhkan didatangkan dari China, sebagaimana sudah terjadi di daerah Morowali dan Halmahera
Ketimbang Mahfud mengkambinghitamkan KLHK, justru dia seharusnya mengevaluasi kepemilikan HGU oleh sebuah entitas perusahaan yang dimaksud, kenapa selama 19 tahun tidak ada penggarapan atas tanah tersebut?
Benarkah ada kerugian negara atas kerjasama entitas pengusaha itu dengan pemerintah setempat, seperti yang diributkan masyarakat pada tahun 2008 dulu. Bagaimana membangun Rempang atau Batam tetap pada cita cita awal yakni High-Tech Industry dan Pariwisata?
Kebijakan Pro Poor Growth
Berbagai kekerasan dan penggusuran dalam era Jokowi sudah sangat biasa. Penggusuran terjadi di Jakarta, di Wadas Jateng, di daerah-daerah tambang nikel, dll. Pola ini umumnya melihat bahwa pembangunan ekonomi adalah segala-galanya. Dalam kesegalaan ini, rakyat hanya dianggap objek pembangunan. Sebagai objek, rakyat dapat senantiasa digusur atau dikorbankan demi atau atas nama pembangunan itu.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid