Di samping penggusuran, negara selalu mendorong kaum pemilik modal menjadi pengendali pembangunan itu, dengan mana negara memberi hak-haknya secara eksklusif kepada segelintir orang. Dalam kasus Rempang, negara memberikan tanah seluas 17.000 hektare untuk sebuah entitas atau satu orang. Untuk apa pula sub negara (otorita Batam) sebagai pemilik hak tidak mengelolanya langsung?
Pembangunan model seperti ini, dalam kajian PBB dan world bank, sering disebutkan sebagai pola klasik dari pengurus negara yang tidak kreatif, malas, miskin ide dan cenderung menjadi kaki tangan pemilik modal. Pola ini mengakibatkan pertumbuhan yang terjadi tidak berkorelasi pada pengentasan kemiskinan. Bahkan, mayoritas porsi keuntungan dari pertumbuhan itu kembali kepada pemilik modal, dan menyisakan sedikit bagi rakyat dan negara.
Dalam kasus Rempang, jika saja kebijakan pemerintah pro pada rakyat miskin atau 10.000 penduduk asli di sana, maka model penggusuran dapat diganti dengan model co-eksistensi yang bersifat win-win solution. Rakyat dapat dilibatkan sebagai stakeholder dan mungkin sekaligus shareholder atas pembangunan atau pendirian pabrik di sana. Permintaan rakyat untuk dapat mendiami 1000 Ha lahan (silakan 16.000 Ha nya dikelola swasta), seharusnya sudah dapat dihargai sebagai pola rasional. Apalagi jika keterlibatan rakyat ditingkatkan lagi dalam berbagai hal, seperti isu kelestarian dan keberlanjutan serta penjaga pulau-pulau terluar.
Sayangnya, baik Mahfud MD, Bahlil dan pemda/otorita Batam hanya berpikir gampang, bagaimana mendukung investasi masuk tanpa memperhatikan nasib rakyat di sana. Ini adalah pola lama yang sudah seharusnya usang.
Ke depan, tentu saja negara harus dikelola dengan prinsip prinsip mengutamakan rakyat. Rakyat pun sesungguhnya mengerti bahwa mereka tidak anti pembangunan, melainkan mereka ingin diajak bicara dan diajak berpartisipasi. Model itu dikenal dalam prinsip kebijakan Pro Poor Growth.
Anies Baswedan Bersama Rakyat Miskin
Dalam situasi dekatnya kita pada pilpres atau pergantian kepemimpinan ke depan, rakyat perlu mengenali calonnya yang ada. Kepemimpinan ke depan harus berpihak pada rakyat. Anies Baswedan sebagai kandidat capres, misalnya, mempunyai rekam jejak memanjakan rakyat miskin di Jakarta, ketimbang memanjakan kaum kapitalis.
Meskipun Anies tidak antipengusaha, namun prinsip “growth with equity" maupun "growth through equity" dijalankan Anies di Jakarta, sehingga, bagaikan elevator, orang- orang miskin ikut sejahtera dan orang kaya tetap meningkat kekayaannya.
Di Jakarta, contohnya, Anies telah menaikkan upah buruh 5,1 persen pada saat bersamaan Ganjar menaikkan hanya 0,87 persen. Kebijakan perburuhan adalah instrumen penting redistribusi. Anies juga mencegah penggusuran kampung-kampung tua dan miskin, seperti Aquarium, pada saat bersamaan Ganjar menggusur warga Wadas di Jateng.
Ini adalah sebagian contoh saja. Prinsipnya adalah Anies melihat rakyat tersebut sebagai pemilik sah republik, bukan objek yang harus dipinggirkan.
Dalam perspektif makro, legitimasi pendekatan mikro di atas, disebutkan Anies bahwa dia percaya "Social Market Economy" bukan "free market competition". Yang pertama mengetengahkan dialog antara rakyat dan pemilik modal, sedangkan yang akhir menegasikan hak rakyat.
Jika Anies berkuasa kelak, tentu saja prinsip Social Market Economy akan menggantikan model kapitalis ortodoks, yang menyengsarakan rakyat, termasuk rakyat Rempang Batam itu. Turunan Social Market Economy nantinya tentu akan masuk pada agenda kebijakan Pro Poor Growth, sebuah model pertumbuhan yang direlasikan dengan pengentasan kemiskinan.
Penutup
Rakyat Rempang menderita. Bangsa Melayu berduka. Tapi hamper semua rakyat menderita dalam era Jokowi yang mengutamakan pembangunan berbasis kapitalis ortodok.
Bantuan sosial kelihatannya menjadi andalan yang menunjukkan kebaikan hati negara terhadap rakyat. Namun, hal ini sepertinya hanya polesan tipis untuk menutupi pola pembangunan yang mengutamakan eksploitasi seluruh sumber daya strategis negara demi memajukan kaum kapitalis. Saat bersamaan rakyat menjadi tidak produktif.
Kita perlu bekerja keras mendapatkan pemimpin yang cinta rakyat ke depan. Dengan konsep pembangunan yang anti kapitalis. Rakyat sudah terlalu lama menderita. Itu harus diakhiri. Rakyat harus segera sejahtera. Rakyat Rempang harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Tanah Melayu.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle)
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid