Oleh: Sugiyanto*
PADA dasarnya, syarat pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden terpilih yang dilantik diatur pada Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan konstitusi ini, jika terdapat lebih dari dua pasangan calon, Pilpres 2024 memiliki potensi berlangsung dua putaran.
Artinya, pasangan capres dan cawapres dengan suara terbanyak pertama dan kedua akan dipilih kembali secara langsung oleh rakyat. Namun, tidak hanya itu, potensi dinamika yang berputar-putar juga bisa terjadi.
Hal ini disebabkan oleh kemungkinan bahwa jika hasil suara nasional pasangan capres dan cawapres pada putaran kedua di suatu provinsi kurang dari 20 persen, maka KPU tidak akan dapat membuat aturan untuk pelantikan.
Akibatnya, pemilihan presiden dan wakil presiden atau Pilpres 2024 bisa terus diulang-ulang sampai sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang (UU). Hal ini memungkinkan pemilihan presiden dan wakil presiden atau Pilpres 2024 berputar-putar tanpa akhir.
Argumentasi ini didasari oleh adanya gugatan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Gugatan ini diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, dan rekan-rekannya.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Keputusan KPU Pasal 3 ayat (7) yang digugat tersebut berbunyi; “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih."
Dalam putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 yang diunggah pada 3 Juli 2020, MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.
Sedangkan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi; “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Intinya, Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 menegaskan bahwa KPU tidak boleh membuat norma baru yang bertentangan dengan UU. Peraturan KPU, sebagai peraturan teknis, harus sesuai dengan ketentuan UU 7/2017.
Merujuk pada website MA, (MAHKAMAHAGUNG.GO.ID), diketahui putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tersebut dikeluarkan pada tanggal 28 Oktober 2019. Dijelaskan bahwa, Tingkat Proses, Peninjauan Kembali, dan Klasifikasi TUN> Hak Uji Materiil serta Status, Berkekuatan Hukum Tetap.
Namun, putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 yang memenangkan Rachmawati Soekarnoputri tidak berpengaruh terhadap keabsahan pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019. Putusan MA mungkin terbit setelah pelantikan Presiden Jokowi dan tidak berlaku surut.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid