Ketiga, mereka menuntut Presiden Jokowi membatalkan penggusuran 16 kampung tua, mencopot M Rudi sebagai kepala BP Batam, dan membebaskan masyarakat Pulau Rempang yang ditahan tanpa syarat. Kepala BP Batam M Rudi yang sempat menemui pendemo mengatakan, proyek Rempang Eco-City bukanlah kewenangan dirinya, tetapi pemerintah pusat.
Pendekatan Represif
Kerusuhan di Rempang ini mengingatkan kita pada kekerasan di Wadas pada Februari 2022 yang lalu. Rencana pembangunan Bendungan Bener di Purworejo adalah juga masuk Proyek Strategis Nasional (PSN), sama dengan Rempang Eco-City. Namun, demi PSN ini, Desa Wadas dikepung oleh gabungan aparat Polri dan TNI. Puluhan warga ditahan di Mapolres Purworejo.
Dilihat dari manfaat langsungnya untuk masyarakat, proyek Bendungan Bener jelas memiliki utilitas lebih tinggi dibandingkan Rempang Eco-City. Proyek di Batam ini – dengan investasi Rp 381 triliun dan ditargetkan menyerap lebih dari 300.000 tenaga kerja – akan mengubah Pulau Rempang menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata.
Di benak masyarakat setempat, proyek ini sejatinya hanya akan menyulap Pulau Rempang menjadi pulau modern yang tidak lagi mencirikan budaya Melayu, dengan cara merelokasi penduduk setempat secara paksa.
Tentu saja “jebol desa” (tepatnya “jebol pulau”) ini bukan perkara gampang. Memindahkan 7.500 jiwa dalam tempo singkat sama saja dengan mencerabut manusia dari penghidupan, budaya, dan adat-istiadat lokal yang sudah berlangsung lama. Belum lagi mereka merasa memiliki tanah secara turun-temurun dari nenek moyang mereka sejak zaman kolonial Belanda.
Seperti halnya letupan-letupan sosial yang berlangsung sebelumnya, misalnya kasus viral remaja Syarifah yang membuat video kritik kepada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dan perusahaan China PT RPSL pada Juni 2023 yang lalu, konflik di Rempang ini juga terasa diwarnai sentimen sosial.
PT MEG yang dipercaya menjadi nakhoda untuk mengembangkan kawasan seluas 17.000 hektare itu disebut-sebut sebagai anak usaha Artha Graha Network, yang pemiliknya merupakan salah satu taipan di Indonesia, yakni Tomy Winata. PT MEG kemudian menggandeng investor dari China.
Sudah bukan rahasia umum lagi, jor-joran investasi China di era Presiden Jokowi ini acapkali menimbulkan konflik di lapangan. Selain itu, masyarakat mulai mempertanyakan janji penyerapan tenaga kerja lokal yang menyertai investasi, karena China lebih menyukai mengirim tenaga kerjanya sendiri untuk mengerjakan proyek-proyeknya di Indonesia.
Sentimen sosial itu meningkatkan konflik dan perlawanan warga Rempang, ditambah pendekatan represif oleh pemerintah dan aparat keamanan dalam menyikapi protes warga. Pendekatan represif dan koersif adalah jalan pintas mengatasi kegagalan komunikasi yang seharusnya informatif dan persuasif. Jokowi pun mengakui, konflik Rempang karena kelemahan komunikasi pada jajaran pemerintahannya.
Paradigma Lama
Sesuai amanat konstitusi, kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam semestinya ditujukan untuk memuliakan hak rakyat dan demi kemakmuran rakyat. Karena itu, setiap investasi untuk pembangunan seharusnya mengedepankan dialog dan keadilan bagi warga setempat. Itulah inti tanggapan dari dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, yakni NU dan Muhammadiyah, terhadap kasus ini.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengingatkan, kesentosaan masyarakat adalah yang paling penting dalam kasus ini, sedangkan risiko investasi adalah hitungan kemudian. Ia mengatakan, meskipun ada kesadaran bahwa investasi diperlukan oleh negara, investasi harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama masyarakat di daerah tempat investasi ditanamkan.
Sementara itu, PP Muhammadiyah menuding pemerintahan Presiden Jokowi telah gagal melaksanakan mandat konstitusi dengan menggusur masyarakat yang telah berada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya menyebutkan, masyarakat telah menempati pulau itu sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Karena itu, mereka mengritik pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut belum pernah digarap.
Memang agak aneh, di tengah kemajuan demokrasi, humanisme, dan hak asasi manusia, pemerintahan kita masih menganut paradigma lama dalam membangun negeri. Pertumbuhan ekonomi tampaknya menjadi tujuan dengan mengorbankan keadilan dan pemerataan. Padahal salah satu problem sosial dan ekonomi negara kita adalah kesenjangan yang masih sangat lebar antara penduduk yang kaya dan miskin.
Kiranya harus ada koreksi terhadap banyak kebijakan pemerintah akhir-akhir ini agar rakyat betul-betul menjadi subjek dalam pembangunan. Manusia harus menjadi tujuan akhir dari pembangunan, bukan sekadar sarana untuk kesuksesan sebuah proyek pembangunan.
*A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid