OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
TUGAS Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi sungguh maha berat.
Bukan karena materinya berat, tetapi karena dikejar waktu.
Salah satu dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan adalah hubungan kerabat, atau benturan kepentingan, antara pihak yang berperkara, yaitu Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang berstatus sebagai adik ipar Presiden Jokowi, sekaligus paman dari Gibran yang patut diduga sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari uji perkara dimaksud di atas.
Mahasiswa yang mengajukan permohonan uji materi secara jelas menyatakan kagum atas prestasi Gibran di dalam permohonannya. Oleh karena itu memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar kepala daerah juga bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden meskipun belum cukup umur seperti diatur di dalam UU.
Berdasarkan pasal 17 ayat (5) UU kekuasaan Kehakiman 48/2008, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dilarang ikut menangani perkara ini karena ada benturan kepentingan.
Kekhawatiran UU dan kekhawatiran masyarakat terbukti. Benturan kepentingan ini menghasilkan putusan kontroversial. Mahkamah Konstitusi diduga memutus perkara melampaui wewenang yang diberikan Konstitusi (UUD).
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengabaikan pasal 17 ayat (5) tersebut. Anwar Usman diduga keras mempunyai niat tidak baik dalam menangani perkara ini, sehingga menghasilkan putusan tidak berdasarkan pertimbangan hukum secara murni dan adil.
Anwar Usman mengabaikan azas iktikad baik (good faith) yang menjadi pedoman dan tuntutan dalam menjalankan hukum secara adil.
Karena itu, para pelapor dugaan pelanggaran kode etik memohon kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi, putusan hakim tersebut dinyatakan tidak sah, atau batal demi hukum, sesuai bunyi pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pada kesempatan konferensi pers yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (31/10), wartawan bertanya apakah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie tidak menjawab secara jelas. Jimly Asshiddiqie ragu apakah mempunyai wewenang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pasal 24C ayat (1) UUD menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.
Sedangkan hierarki UU Kekuasaan Kehakiman berada di bawah UUD sehingga tidak bisa bertentangan atau membatalkan pasal di dalam UUD.
Jimly Asshiddiqie kemudian minta kepada masyarakat untuk memberi alasan yang bisa meyakinkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dibatalkan.
Dalam kesempatan ini, saya ingin memberi sumbang saran bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara ini wajib dinyatakan tidak sah, sesuai konstitusi. Artinya, tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD dimaksud.
Alasan pertama, UUD dibuat berdasarkan norma dalam kondisi normal atau kondisi ideal, di mana semua pihak taat hukum, dan mematuhi semua peraturan perundangan-undangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid