Oleh: A FAHRUR ROZI*
PENANGANAN Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kali ini cukup kompleks. Ada sejumlah diskursus penting yang menuntut progresifitas berkebaharuan dalam sistem kenegaraan kita.
Salah satu hal yang jadi perdebatan panjang hingga kini adalah menyangkut batas-batas atau limitasi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili dan memutus perkara yang menyangkut proses dan kualitas penyelenggaraan Pemilu.
Terhadap hal itu, ada tiga postulat berfikir yang mendasarinya.
Pertama, adanya kegagalan lembaga kekuasaan kehakiman dan lembaga pemerintahan dalam menangani sengkarut pelanggaran Pemilu. Dalam rentang proses pencalonan, pelaksanaan kampanye politik, putusan etik, kesemuanya dijumpai sejumlah pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dalam konteks itu, MK menjadi muara pengadilan yang dituntut dengan sejumlah atribusi kewenangan mengadili (attributie van rechtsmacht) dari seluruh sengketa Pemilu yang ada, yang menyangkut proses dan hasil.
Kedua, ada beban sejarah yang ditanggung MK tentang rusaknya independensi kekuasaan kehakiman penjaga pilar konstitusi. Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi jalan pintas legitimasi konstitusional pencalonan Gibran Rakabuming Raka, telah menghasilkan fenomena pilu, di mana palu sidang kehakiman patah berkeping-keping di depan kepentingan politik.
Putusan MK dan keberanian ijtihad berhukum dalam putusan PHPU 2024 akan menentukan indikasi relasi kuasa kungkungan politik elektoral dalam internal kehakiman MK.
Ketiga, adanya norma positif yang telah mendelegasikan sejumlah kekuasaan mengadili sengketa Pemilu dalam sejumlah lembaga pemerintahan. UU Nomor 7 Tahun 2017 telah secara letterlijk memberikan kewenangan atributif dan secara ekspresif verbis menyatakan MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil Pemilu yang berpacu dengan angka-angka, dan tidak untuk selebihnya.
Dari postulat perdebatan itu, muncul diskursus besar, mungkinkah MK melampaui kewenangan konstitusional yang ada, dan berani melakukan aktifitas judisial ekspansif dari sekadar norma atributif, kewenangan mengadili yang ditentukan dalam norma positif?
Dua Variabel
Dasar postulat itu meniscayakan dua variabel penting dalam diskursus hukum yang menjadi pertimbangan mendasar MK dalam memutus sengeketa Pilpres nantinya, antara penemuan keadilan substantif yang memaksa keberanian ekspansif kewenangan dan kepastian hukum yang tunduk pada keberlakuan norma positif yang ada.
Dalam hal mencapai keadilan substansi, MK akan melakukan judusial ekspansif dalam merumuskan suatu putusan yang progresif. Hal itu meniscayakan penafsiran kontekstual (contextual interpretation) yang mengesampingkan kepastian hukum dalam sistem legal-positivistik.
Mahkamah akan menabrak keberlakuan norma positif, karena kebutuhan terhadap penegakan keadilan substantif. Akan dijumpai aktifitas di mana MK beranjak dari universalitas norma kepada partikularitas fakta.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid