Persoalan yang muncul kemudian, apakah tindakan itu dapat dibenarkan atau tidak. Jika merujuk pada postulat berhukum, sangat mungkin MK memiliki legal konstitusional. Keberadaan MK sebagai the sole judicial interpreter of the constitution dan keberadaan hukum sebagai the art of the interpretation.
Mahkamah cukup mendalihkan adanya dorongan kondisional mengambil alih kewenangan dalam rangka memastikan pelaksanaan dari pada Pasal 22E UUD NRI 1945 sesuai dan berjalan dalam koridor yang konstitusional, termasuk kegagalan lembaga pemerintahan memastikan hal itu.
Akan tetapi, hal itu menegasikan adanya kepastian hukum karena melampaui kewenangan yang berlaku dalam norma positif undang-undang, in casu UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dengan demikian, MK perlu didorong untuk melakukan kebaruan berhukum dengan melampaui batas-batas kewenangan yang ada. Mahkamah tidak boleh tunduk pada ketentuan dalam hukum positif, ketika keadilan substantif tidak tercapai dari sekadar norma tertulis. Bagaimanapun, hukum tidak bebas nilai, kendati dihadapkan dengan doktrin dan anasir di luarnya.
Secara konseptual, terhadap keadilan hukum vis a vis kepastian hukum, Gustav Radbruch sebagai pencetus trilogi tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, kepastian), juga perlu direinterpretasi terhadap ketentuan hierarkis dari ketiga nilai tersebut.
Jika keadilan pada kondisi tertentu harus dihadapkan pada kepastian hukum yang berlaku, maka keadilan sejatinya dapat mengesampingkan dan menggeser nilai kepastian sebagai secondary rules setalah keadilan itu sendiri (Satjipto, 2007;76).
Selain adanya keberanian yang didasarkan pada keyakinan penuh hakim terhadap sejumlah pelanggaran Pemilu yang tidak berkeadilan, Mahkamah juga harus merumuskan betul nalar dan argumentasi yuridis yang rasional dan proporsional.
Setidaknya-tidaknya putusan itu harus menjawab diskursus ekspansif kewenangan mengadili, serta titik perumusan putusan yang tentunya bersandar pada fakta keyakinan intervensi kekuasaan terhadap pelaksanaan Pemilu; Bansos, pemekaran daerah, pengakatan Pj kepala daerah, dengan mekanisme pembuktian yang kurang mencapi titik maksimal di pengadilan.
Dengan demikian, MK sangat mungkin keluar dari kungkungan legisme undang-undang dan melampaui limitasi kewenangan karena bersandar pada perjuangan nilai keadilan dan kepastian hukum sekaligus. Hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan dua hal, keberanian dan cara berhukum yang progresif.
Mengutip pesan Budiman Tanuredjo yang menjadi tajuk dalam opininya yang tayang di Harian Kompas (15/4/2024), “MK yang mulai, MK yang mengakhiri”.
*(Pengamat politik dan hukum ketatanegaraan.)
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid