Ditambah lagi dengan adanya kebijakan fiskal seperti pungutan ekspor dan bea keluar masih perlu didorong, menurut Eddy, kian memperburuk kinerja industri sawit ini. Padahal sebetulnya harga komoditas sawit mentah (CPO) di pasar Rotterdam masih di kisaran US$ 850-1.000 per metrik ton. “Artinya harga tidak anjlok,” kata dia saat dihubungi 26 Juli 2024.
Namun hal itu tak lantas menjaga agar realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan industri sawit pada semester satu tahun 2024 adalah Rp 6,8 triliun, turun dibanding semester 1 2023 sebesar Rp 15,6 triliun. Kemerosotan terbesar terjadi di komoditas batu bara yang pada paruh awal tahun ini sebesar Rp 14,2 triliun, dibanding periode sama 2023 yakni Rp 68,1 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat total penerimaan PPh badan dari sektor komoditas Rp 73,8 triliun. Dengan demikian, pajak yang dikumpulkan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.921 triliun dari sasaran 1.988 triliun, atau hanya 96,6 persen dari target APBN. Sehingga anggaran negara diperkirakan mengalami defisit 2,7 persen dari PDB dari target 2,29 persen terhadap PDB.
Defisit anggaran juga membuat pemerintah butuh menarik utang baru, sehingga pinjaman terus membengkak. Soal ini, ekonom senior Faisal Basri mengatakan peningkatan utang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi. “Utang naik, kalau ekonominya tumbuh maka basis penerimaan pajak naik. Ini kan enggak. Pajaknya turun begini,” ujarnya ditemui di Jakarta, Jumat 26 Juli 2024.
Utang Melambung hingga Tembus Rp 8,3 Kuadriliun
Hingga akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, utang pemerintah telah menembus Rp 8,3 kuadriliun. Sejumlah ekonom menilai pengelolaan utang tersebut kurang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara pertumbuhan basis penerimaan pajak masih lesu, bahkan diprediksi tidak mencapai target.
Defisit anggaran juga makin melebar. Pada 2015, selisih kurang APBN adalah Rp 298,4 tiliun. Awal Juli 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Keuangan membacakan laporan realisasi APBN paruh pertama telah mengalami defisit Rp 77,3 triliun. Adapun anggaran diperkirakan akan minus Rp 607 triliun hingga akhir tahun.
Musababnya, belanja negara meningkat, sementara pendapatan negara mengalami kontraksi 6,2 persen dibandingkan semester awal 2023. Adapun pajak berkontribusi paling besar pada pendapatan. Bekas direktur pelaksana Bank Dunia itu mengabarkan penerimaan pajak mencapai Rp 893,8 triliun, atau turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 907,2 triliun.
Kondisi ini disebabkan keuntungan berbagai perusahaan yang merosot akibat gejolak harga komoditas pada 2023. Perusahaan masih untung, namun tidak setinggi tahun sebelumnya. “Karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam,” kata dia di gedung DPR, 8 Juli 2024.
Kementerian Keuangan melaporkan penurunan pajak terbesar terjadi pada pajak penghasilan (PPh) badan terutama pada sub sektor terkait komoditas seperti sawit, logam dan pupuk.
Beban Bunga dari Melonjaknya Utang
Jokowi memulai masa jabatan pada 2014, dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebesar Rp 2.608,7 triliun. Laju kenaikan utang selama satu dekade tercatat cukup pesat. Data APBN terkini yang diterbitkan Kementerian Keuangan memaparkan posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp 8.335 triliun per April 2024.
Dalam perjalannya pijaman juga meningkat akibat kebijakan penarikan utang pada pandemi covid-19 di 2020. Utang naik 27,13 persen dari sebelumnya Rp 4.779 triliun menjadi Rp 6.102 triliun.
Melambungnya pinjaman berkorelasi terhadap peningkatan cicilan pokok dan beban bunga utang yang mempersempit ruang gerak fiskal. Akibatnya APBN semakin megap-megap. “Tercermin dari share pembayaran bunga, sekarang saja sudah 20 persen lebih dari total pengeluaran pemerintah pusat,” kata Faisal Basri.
Menyitir laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2023 yang sudah diaudit, belanja pembayaran bunga utang mencapai Rp 439,8 triliun. Sementara realisasi pendapatan perpajakan Rp 2.154 triliun. Artinya sekitar 20 persen dari penerimaan pajak negara dipakai untuk membiayai bunga pinjaman.
Berbeda jika dibanding satu dekade sebelumnya. Realisasi APBN dalam LKPP 2014 mencatat biaya untuk membayar bunga utang sebesar 12 persen dari pendapatan. Saat itu bunga utang yang harus dibayar sebesar Rp 133 triliun dengan pendapatan pajak Rp 1.103 triliun.
Utang sebetulnya bukan pamali selama digunakan untuk mendorong pembangunan. Namun, Faisal memaparkan, di era Jokowi, pembiayaan dari utang digunakan untuk banyak hal. Termasuk belanja rutin yang memakai porsi besar. Pinjaman selayaknya dipakai untuk program mengentaskan kemiskinan, atau menciptakan lapangan kerja berkualitas.
Dari audit LKPP 2023, anggaran terbesar APBN digunakan untuk transfer ke daerah yakni Rp 881 triliun, diikuti biaya bunga utang. Lalu belanja barang yakni Rp 432 triliun dan belanja pegawai Rp 412 triliun. Peningkatan sumber daya manusia, masih menjadi PR besar yang diwariskan ke pemerintahan selanjutnya. Saat ini indonesia masih tergolong sebagai negara berpenghasilan menengah. Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia juga stagnan di kisaran 5 persen.
Pembiayaan untuk pendidikan dan kesehatan juga masih kecil. Akibatnya, Fasial melanjutkan, Indonesia masih berkutat pada pertumbuhan manusianya, terlihat dari pemerintah berikutnya yang memasukkan program perbaikan gizi. “Jadi urusan perut masih belum selesai. Karena bayar bunga melulu,” kata dia.
Pembiayaan capital expenditure, atau biaya untuk manfaat dalam jangka waktu yang panjang dianggap masih sembrono. Akibatnya pinjaman makin naik namun tidak meningkatkan kapasitas untuk membiayai utang tersebut.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan hal senada. “Pada dasarnya, utang pemerintah dan defisit anggaran adalah counter-cycle policy, yaitu kebijakan yang ditujukan melawan pelemahan perekonomian dengan cara mendorong belanja pemerintah yang memberikan multiplier effect terbesar pada perekonomian,” kata dia.
Seharusnya digunakan untuk pembiayaan seperti belanja modal dan transfer pendapatan ke kelompok miskin. Dengan kata lain, kebijakan defisit anggaran dan pembuatan utang adalah upaya untuk meningkatkan ruang gerak fiskal pemerintah agar dapat memprioritaskan dan menambah alokasi dana ke pos belanja penting yang diinginkan.
Namun di Indonesia menurut dia terjadi anomali, di mana belanja terikat secara konsisten terus mendominasi pengeluaran negara. Terlepas dari pembuatan utang yang terus dilakukan dan dalam jumlah yang semakin besar.
Kebijakan utang dan defisit anggaran tidak berimplikasi pada meningkatnya ruang gerak fiskal. Sehingga pengeluaran seperti infrastruktur dan belanja sosial, tidak pernah meningkat dan dominan. “Belanja publik kita sangat dan terus didominasi oleh belanja terikat, terutama belanja pegawai, belanja barang dan pembayaran bunga utang pemerintah,” kata dia.
Belanja pemerintah pusat yang terbesar adalah belanja pegawai yang di sepanjang era Presiden Jokowi, 2015-2024, diperkirakan mencapai Rp 3.707 triliun, sekitar 21,3 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid