Tuntutan Penggantian Wapres Dalam Lensa Hukum Administrasi Negara

- Sabtu, 26 April 2025 | 20:55 WIB
Tuntutan Penggantian Wapres Dalam Lensa Hukum Administrasi Negara

Kritik Terhadap Politisasi Mekanisme Konstitusional


Desakan penggantian di luar kerangka hukum dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi politik, tetapi menjadi berbahaya jika dipaksakan masuk ke dalam jalur kenegaraan tanpa dasar hukum yang sah.


Hal ini membuka preseden buruk terhadap stabilitas sistem ketatanegaraan.


Dalam pendekatan legal realism, seperti dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, hukum bukan sekadar teks, tetapi juga produk dari interaksi sosial dan politik.


Namun, ketika tafsir sosial ini dibawa ke dalam tindakan administratif negara tanpa legitimasi hukum, maka negara rentan terhadap krisis normatif.


Dalam hukum tata negara, legal standing merujuk pada kapasitas suatu entitas untuk mengajukan tuntutan atau gugatan (Stone Sweet, 2002).


Forum Purnawirawan TNI bukanlah lembaga negara, sehingga tidak memiliki locus standi untuk menuntut penggantian pejabat publik.


Tuntutan semacam ini lebih bersifat politis ketimbang hukum, karena tidak berdasar pada mekanisme konstitusional yang sah (Asshiddiqie, 2006).


Terhadap tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tersebut, berikut adalah beberapa catatan kritis yang diajukan penulis:


1. Pelanggaran Prinsip Supremasi Sipil


Tuntutan ini mengabaikan prinsip civilian supremacy yang menjadi pilar demokrasi Indonesia. Pasal 30 ayat (5) UU No. 34/2004 tentang TNI secara eksplisit melarang keterlibatan militer dalam praktik politik praktis. 


Meskipun dilakukan oleh purnawirawan, intervensi kelompok dengan akar identitas militer berpotensi menciptakan preseden berbahaya bagi netralitas birokrasi. 


Narasi yang dibangun dapat menciptakan persepsi bahwa TNI masih memiliki tendensi politik, yang bertentangan dengan reformasi militer pasca-Orde Baru (Crouch, 2010).


2. Ketidaksahan Prosedural Administratif


Dalam perspektif hukum administrasi negara, penggantian pejabat publik harus mengikuti mekanisme due process of law (Marbury v. Madison, 1803). 


Pasal 14 PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS menegaskan bahwa pemberhentian pejabat negara wajib melalui proses pembuktian pelanggaran administratif. 


Tuntutan tanpa dasar hukum konkret melanggar asas rechtsmatigheid van bestuur (legalitas pemerintahan).


3. Penyimpangan Terhadap Prinsip Trias Politica


Upaya delegitimasi Wakil Presiden melalui jalur non-konstitusional bertentangan dengan doktrin pemisahan kekuasaan. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, bukan institusi di luar struktur negara. 


Intervensi eksekutif terhadap kewenangan MPR dalam hal pemberhentian pejabat negara merupakan bentuk abuse of power.


Pendekatan teori konstitusionalisme Carl J. Friedrich mengingatkan bahwa tuntutan ini merupakan bentuk constitutional erosion melalui perluasan peran aktor non-demokratis dalam proses politik.


Sementara teori administrasi publik Woodrow Wilson menegaskan bahwa stabilitas birokrasi memerlukan proteksi dari tekanan kelompok kepentingan ekstra-parlementer.


Kesimpulan


Analisis ini menegaskan bahwa tuntutan penggantian Wakil Presiden tanpa dasar konstitusional tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga berpotensi mengikis prinsip negara hukum dan demokrasi yang menjadi fondasi Republik Indonesia.


Tuntutan penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam kerangka hukum tata negara maupun administrasi negara.


Kritik terhadap proses pemilu, keputusan MK, atau etika politik dapat terus dilakukan dalam kerangka kebebasan berekspresi.


Namun, segala tindakan negara, termasuk pergantian jabatan publik, harus tetap berada dalam rel hukum positif dan asas-asas pemerintahan yang baik.


***


Sumber: Kompasiana

Halaman:

Komentar

Terpopuler