Tuntutan Penggantian Wapres Dalam 'Lensa Hukum' Administrasi Negara
Tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menimbulkan pertanyaan kritis terkait legitimasi hukum dan batasan intervensi aktor non-politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Seperti yang sudah diberitakan oleh media massa sebelumnya bahwa Forum Purnawiraan Prajurit TNI mengajukan pernyataan sikap yang berisikan 8 tuntutan.
Pada poin ke-8 tertulis: Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Tidak tanggung-tanggung, pernyataan sikap tersebut ditandatangani 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Tertanda tangan Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi dan Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn.) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn.) Hanafie Asnan. Dengan diketahui Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: sejauh mana tuntutan tersebut memiliki legitimasi hukum dalam kerangka konstitusi dan administrasi pemerintahan Indonesia?
Analisis ini menguji tuntutan tersebut melalui lensa hukum administrasi negara, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, demokrasi, mekanisme penggantian pejabat negara, serta akuntabilitas administratif.
Sebagai catatan: artikel ini hanya membahas tuntutan pada poin ke-8 dan tidak membahas tuntutan lainnya.
Kedudukan Wakil Presiden dalam Konstitusi
Berdasarkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, Wakil Presiden merupakan jabatan yang terintegrasi secara konstitusional dengan Presiden melalui mekanisme pemilihan langsung.
Pasal 6A UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Prosedur pengangkatan Wakil Presiden melalui pemilu langsung bersama Presiden telah mengikat secara konstitusional.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka peluang bagi Gibran untuk mencalonkan diri memang kontroversial, namun tetap memiliki kekuatan hukum tetap (res judicata pro veritate habetur).
Pergantian Wakil Presiden hanya dimungkinkan dalam dua skenario: (1) berhalangan tetap (Pasal 8 UUD 1945), atau (2) pemberhentian melalui proses impeachment oleh MPR atas usulan DPR (Pasal 7B UUD 1945).
Tidak ada klausul konstitusional yang memberikan kewenangan kepada kelompok non-state actor, termasuk organisasi veteran militer, untuk menginisiasi proses pergantian Wakil Presiden.
Dimensi Hukum Administrasi Negara
Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), konsep constitutional morality tidak berhenti pada kepatuhan formal terhadap konstitusi, tetapi juga mencakup integritas proses demokrasi.
Di sinilah kritik dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendapat konteks etis, namun secara normatif, tidak terdapat mekanisme hukum positif untuk "mengganti" Wakil Presiden terpilih secara sepihak atau karena desakan publik.
Kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 8 UUD NRI 1945, yaitu jika Presiden atau Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Dari sudut hukum administrasi negara, jabatan publik tidak hanya merupakan hasil dari proses legal-formal, tetapi juga harus mencerminkan prinsip good governance.
Prinsip ini meliputi legalitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik (Riant Nugroho, 2015).
Permasalahan etika dalam pencalonan Gibran, terutama terkait dugaan konflik kepentingan antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, menimbulkan pertanyaan mengenai asas netralitas administrasi negara.
Namun, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, posisi Wakil Presiden tidak tunduk pada prinsip duty of accountability administratif sebagaimana pejabat struktural lainnya.
Akuntabilitas politik Wakil Presiden sepenuhnya bergantung pada proses pemilu dan pertanggungjawaban politik kepada rakyat melalui mekanisme elektoral, bukan administratif.
Hukum administrasi negara mengedepankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dan stabilitas pemerintahan (Wade & Forsyth, 2009).
Tuntutan penggantian wapres tanpa alasan hukum yang jelas dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan merusak tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Tuntutan ini juga mencerminkan potensi abuse of power oleh kelompok kepentingan (interest group) yang ingin memengaruhi kebijakan negara di luar mekanisme demokratis. Hukum administrasi modern menolak intervensi sepihak yang tidak berbasis aturan (Peters, 2021).
Artikel Terkait
OTT KPK Gagalkan Gubernur Riau Kabur, Ini Identitas dan Modus yang Bikin Heboh
BREAKING: KPK Umumkan Nasib Gubernur Riau Abdul Wahid Pagi Ini! Ini Fakta OTT dan Uang Sitaan Rp1 Miliar+
Ustadz Abdul Somad Beri Dukungan Usai Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK, Ini Pesan Hadistnya
OTT KPK! Harta Fantastis Gubernur Riau Abdul Wahid Tembus Rp4,8 Miliar, Ini Rinciannya