Selat Malaka: Berkah Sekaligus Medan Perang
Bayangkan skenario ini: konflik pecah antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Sekitar 60% perdagangan maritim dunia dan sepertiga pengiriman minyak mentah global melewati jalur perairan Indonesia, terutama Selat Malaka.
Siapapun yang mengontrol selat ini, pada dasarnya mengontrol urat nadi ekonomi global.
Dalam situasi perang, jalur ini akan menjadi titik rebutan (choke point) yang paling strategis.
Indonesia akan berada di bawah tekanan luar biasa dari kedua belah pihak untuk berpihak.
Menolak salah satunya bisa dianggap sebagai tindakan permusuhan.
Sementara mengizinkan salah satunya akan otomatis menjadikan Indonesia musuh bagi pihak lain.
Posisi netral akan terkikis dengan cepat, dan kedaulatan kita di perairan sendiri akan diuji hingga titik darah penghabisan.
Dampak ekonominya bahkan akan terasa lebih dulu sebelum satu peluru pun ditembakkan di tanah air.
Rantai pasok global akan runtuh. Impor gandum untuk jutaan bungkus mie instan akan berhenti.
Impor komponen elektronik untuk ponsel dan kendaraan akan macet.
Di sisi lain, ekspor batu bara dan minyak sawit yang menjadi andalan devisa negara tidak akan bisa dikirim.
Inflasi akan meroket, kelangkaan barang terjadi di mana-mana, dan potensi PHK massal akan memicu gejolak sosial yang tak terbayangkan.
Perlu dipahami, bahwa perang tidak lagi hanya soal rudal, tapi soal siapa yang mengontrol perut dan dompet rakyat.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Kode HTML Kosong? Ini Rahasia Menulis Artikel yang Tak Terbaca Mesin Pencari!
Stadion Langit NEOM: Fakta Mencengangkan di Balik Stadion Gantung 350 Meter untuk Piala Dunia 2034
46 Anak Gaza Tewas dalam 12 Jam: Ini Serangan Mematikan Israel Sejak Gencatan Senjata
45 Tewas dalam Serangan Terbaru Israel ke Gaza, Korban Didominasi Perempuan dan Anak-anak