HEBOH Demo Block Everything Guncang Prancis, Juga Terinspirasi Indonesia?

- Kamis, 11 September 2025 | 16:10 WIB
HEBOH Demo Block Everything Guncang Prancis, Juga Terinspirasi Indonesia?




POLHUKAM.ID - Demonstrasi "Block Everything [Blokir Segalanya]" telah mengguncang Prancis sejak Rabu. 


Para pengunjuk rasa, yang sebagian dari kalangan Gen-Z, beraksi di seluruh negeri dengan memblokir jalan raya dan membakar barikade.


Mirip dengan demonstrasi di Indonesia Agustus lalu, unjuk rasa di Prancis ini merupakan luapan kemarahan rakyat terhadap elite politik di pemerintahan Presiden Emmanuel Macron dan rencana pemotongan anggaran publik.


Pihak berwenang Prancis mengerahkan lebih dari 80.000 personel keamanan di seluruh negeri, menyingkirkan penghalang dan menyemprotkan selang air ke arah demonstran sementara ketegangan meningkat di beberapa wilayah.


Di Paris, polisi antihuru-hara secara berkala menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.


Demo "Block Everything"—sebuah ekspresi ketidakpuasan yang meluas di media sosial—muncul secara daring pada bulan Mei di kalangan kelompok sayap kanan, tetapi sejak itu telah diadopsi oleh kelompok kiri dan sayap kiri ekstrem.


Kerusuhan tersebut menambah gejolak politik di hari ketika Sebastien Lecornu yang konservatif menjabat sebagai perdana menteri baru pilihan Presiden Emmanuel Macron. 


Lecorny menggantikan Francois Bayrou yang digulingkan oleh Parlemen karena rencananya yang tidak populer untuk pemotongan anggaran publik yang tajam.


"Ini masalah yang sama; masalahnya sama, Macron-lah yang bermasalah, bukan para menteri," kata Fred, seorang pejabat serikat pekerja CGT di perusahaan transportasi umum Paris, RATP. "Dia harus pergi," katanya lagi, seperti dikutip Reuters, Kamis (11/9/2025).


Prancis berada di bawah tekanan untuk menurunkan defisit anggaran yang hampir dua kali lipat dari pagu 3% Uni Eropa, dan tumpukan utang yang setara dengan 114% PDB.


Di Paris, kaum Gen-Z, yang didominasi para pelajar dan anak-anak usia sekolah, turut serta dalam aksi protes. 


Lebih dari 300 pengunjuk rasa ditangkap di seluruh negeri, meskipun banyak demonstrasi berlangsung damai.


Hampir 200.000 orang di seluruh Prancis berpartisipasi dalam gerakan tersebut, sebuah mobilisasi yang digambarkan oleh Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau sebagai "signifikan" meskipun dia menambahkan bahwa "mereka yang ingin memblokade negara gagal melakukannya."


Gerakan "Block Everything" ini mencerminkan kemarahan terhadap apa yang disebut para pengunjuk rasa sebagai elite penguasa yang disfungsional dan bersikeras pada penghematan—ketidakpuasan semakin dalam setelah pemerintah sebelumnya mengusulkan pemotongan anggaran publik sebesar 44 miliar euro (USD52 miliar).


Di luar stasiun kereta Gare du Nord di Paris, ratusan pemuda meneriakkan slogan-slogan anti-Macron. 


Salah satu dari mereka membawa plakat berbendera Triwarna dan slogan "Republik Elite Kaya".


"Kami datang untuk bersuara," kata Emma Meguerditchian (17), pelajar Sorbonne


"Kami ingin mereka tahu bahwa kami tidak tahan lagi, kami menginginkan pemerintahan jenis lain."


Di wilayah barat, para pengunjuk rasa di Nantes memblokir jalan raya dengan membakar ban dan tempat sampah. 


Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan orang-orang yang mencoba menduduki bundaran. Di Rennes, sebuah bus dibakar.


Di Montpellier, di selatan, polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa yang telah mendirikan barikade untuk memblokir lalu lintas di bundaran. 


Sebuah spanduk besar di lokasi tersebut bertuliskan: "Macron mengundurkan diri".


Polisi Paris menembakkan gas air mata ke arah para pemuda yang menghalangi pintu masuk sebuah sekolah menengah atas dan petugas pemadam kebakaran membersihkan sepeda dan tong sampah yang terbakar dari berbagai barikade.


Bentrokan terjadi di sela-sela protes di dekat pusat perbelanjaan Chatelet di pusat ibu kota dan petugas pemadam kebakaran memadamkan kebakaran yang terjadi di sebuah gedung di dekatnya.


Gerakan "Block Everything" telah dibandingkan dengan pemberontakan "Rompi Kuning" yang pecah pada tahun 2018-2019 akibat pajak dan biaya hidup yang memaksa Macron untuk membuat konsesi kebijakan yang menghabiskan biaya miliaran euro.


Namun, sosiolog Antoine Bristielle dari lembaga riset Jean Jaures Foundation mencatat adanya kesenjangan generasi di antara keduanya.


"Dalam gerakan 'Rompi Kuning', Prancis kita berada dalam kondisi yang rentan dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup, banyak pekerja, banyak pensiunan. Sementara di sini, dari segi usia, banyak anak muda," kata Bristielle.


"Mereka memiliki visi tertentu tentang dunia di mana terdapat lebih banyak keadilan sosial, lebih sedikit ketimpangan, dan sistem politik yang berfungsi secara berbeda, lebih baik," ujarnya.


"Anak muda adalah masa depan, generasi tua meninggalkan kita dengan dunia yang buruk, pemerintahan yang buruk. Kitalah yang harus berjuang untuk mengubahnya dan menari di atas puing-puing dunia lama," kata Alice Morin (21), seorang mahasiswa.



Sumber: SindoNews

Komentar