Ia gelisah melihat sistem pendidikan yang hanya berfokus pada gelar dan pengetahuan teknis, namun gagal mengajarkan hal yang paling esensial.
"Yang penting adalah pendidikan yang bisa membantu mereka (generasi muda) berpikir," tegas Xanana.
Menurutnya, banyak institusi pendidikan di dunia kini hanya menjadi tempat "fotokopi" ilmu pengetahuan tanpa mengajarkan cara mengolahnya.
"Pengetahuan yang ada di dunia itu fotokopi saja, fotokopi saja kasih ini (ke mahasiswa)," ujarnya dengan nada menyindir.
Ia mengkritik keras para penanggung jawab kebijakan yang hanya mengikuti aturan hukum secara buta (follow the law) tanpa memiliki "perasaan sosial" untuk melihat dampak sebenarnya di masyarakat.
Akibatnya, hukum menjadi kaku dan tidak berpihak pada keadilan substansial. Bagi Xanana, krisis terbesar adalah krisis logika dan filsafat.
"Cara berpikir, logika, filsafat. Ini yang... kalau tidak, tidak bisa membantu," katanya.
Rocky Gerung: Dari Diplomasi Otak ke Diplomasi Dagang
Menyambung kegelisahan Xanana, Rocky Gerung memberikan analisis tajam mengenai pergeseran makna diplomasi di panggung global.
Menurutnya, diplomasi pada hakikatnya adalah upaya luhur untuk menghindari perang dan kekerasan melalui pertarungan otak.
"Diplomasi itu adalah upaya untuk menghindari politik kekerasan," ujar Rocky.
Namun, hakikat itu kini telah tergerus. Di era modern yang didominasi efisiensi teknologi dan kepentingan ekonomi, diplomasi kehilangan jiwanya.
Perang tidak lagi dianggap biadab, melainkan efisien, karena bisa dilakukan dari jarak jauh menggunakan drone dan kecerdasan buatan (AI).
Akibatnya, fungsi diplomasi pun direduksi secara drastis.
"Ilmu diplomasi sekarang diubah menjadi ilmu untuk memungkinkan ada transaksi dagang dengan negara lain. Cuma itu sekarang," kritik Rocky.
Ia menjelaskan bahwa diplomasi tidak lagi menjadi ajang adu retorika dan logika untuk mencari kebenaran, melainkan hanya menjadi alat untuk memuluskan kepentingan ekonomi.
Kemampuan bernegosiasi kini digantikan oleh model-model ekonometri yang dingin dan transaksional.
Jalan Keluar: Moralitas Negara Kecil dan Kekuatan Akal Sehat
Di tengah pesimisme ini, Rocky Gerung justru melihat secercah harapan dari negara-negara kecil seperti Timor-Leste.
Ketika negara-negara adidaya terjebak dalam absurditas perang nuklir—di mana "menang jadi arang, kalah jadi abu"—justru negara kecillah yang memiliki kekuatan moral untuk bersuara.
"Siapa yang bisa menegur itu? Bukan negara besar. Negara kecil harus menegur itu," tegasnya.
Rocky mendorong agar Timor-Leste tidak terjebak dalam perlombaan senjata, melainkan mengunggulkan apa yang menjadi kekuatannya: diplomasi yang berbasis pada pertarungan pikiran dan moral.
Ide ini sejalan dengan seruan Xanana untuk menghidupkan kembali pendidikan yang mengasah logika dan filsafat.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur