Sejarah RSUD AL-IHSAN, Rumah Sakit Yang Dibangun Dari Keringat Umat, Kini Diacak-Acak KDM!

- Kamis, 03 Juli 2025 | 14:10 WIB
Sejarah RSUD AL-IHSAN, Rumah Sakit Yang Dibangun Dari Keringat Umat, Kini Diacak-Acak KDM!

Mustafa Kemal Atatürk naik jadi penguasa.

Lalu apa langkah pertamanya?

Menghapus jejak Islam dari ruang publik.


Kenapa?

Karena menurut Atatürk, Islam dianggap penghambat kemajuan.

Tulisan Arab? Katanya simbol keterbelakangan.

Adat Islam? Dinilai kuno dan tak cocok untuk dunia modern.


Maka ia mulai program besar-besaran:

Mengasingkan rakyat Turki dari identitas Islam.


Mulai dari perubahan nama nama Pemerintah, Hukum hingga Bahasa Keseharian. Puncaknya, Atatürk memaksa rakyat melafalkan adzan bukan lagi:


 “Allahu Akbar”,

tapi:

Tanrı uludur” (Tuhan Maha Besar, versi Turki)


Kalimat “Hayya ‘ala al-falah” diganti jadi “Haydi kurtuluşa”.

Masjid-masjid dijaga polisi.

Muadzin yang tetap adzan pakai bahasa Arab bisa ditangkap.


Bukan sekadar soal bahasa. Ini soal memutus akar ruhani umat dari agamanya.

Satu generasi pun tumbuh buta huruf terhadap Qur’an klasik, kitab tafsir, kitab fiqih, bahkan naskah sejarah nenek moyang mereka.


Akibatnya?

Anak muda Turki tidak tahu siapa dirinya.

Yang bisa mereka baca hanya ideologi Barat.

Mereka dipaksa modern, tapi kehilangan arah.


Kalau alasan mengganti “Al Ihsan” karena katanya bukan budaya Sunda,

maka sekalian aja ganti:

 • “Kamar jenazah” jadi “kamar bangkai”

 • “Hakim” diganti jadi “pangadilan”

 • “Sidang” diganti jadi “ngariung hukum”

 • Dan jangan lupa: hapus juga kata zakat, adzan, ujian, jenazah semuanya dari bahasa Arab.


Tapi kenapa cuma nama yang berbau Islam yang dihapus?

Kenapa cuma yang berakar dari agama yang dianggap “asing”?

Kalau ini bukan Islamofobia, lalu apa?


Mengangkat Budaya Sunda Bukan Berarti Membuang Islam


Padahal kalau ditelusuri, budaya Sunda tidak pernah alergi terhadap Islam.

Sunda itu dibesarkan pesantren, bukan disekolahkan Barat.

Sunda mengenal Nyi Mas Ratu Bagus, K.H. Abdul Halim, Ajengan Sukapura, dan para ulama sufi.

Sunda menghafal Qur’an sejak kecil.

Sunda merindukan Ihsan, bukan cuma Welas Asih.


Sunda dibesarkan oleh pesantren.

Dijaga oleh ulama.

Dihormati oleh orang-orang yang bersujud, bukan oleh orang orang yang hasud.


Sunda tidak takut pada kata “Al Ihsan.”

Justru dari tanah Sunda lahir para penghafal Qur’an, pendakwah tangguh, dan penjaga aqidah.


Pak Dedy, hari ini Anda mungkin punya kekuasaan.

Tapi nama itu bukan sekadar papan.

Ia adalah simbol darah, keringat, dan air mata umat.


“Al Ihsan” bukan sekadar label administratif. Ia maqam,

satu tingkat di atas iman dan Islam.


Kami hanya mengingatkan:

Ketika identitas agama mulai dihapus atas nama budaya, maka yang datang berikutnya bukan kearifan, tapi keterasingan. ***

Halaman:

Komentar

Terpopuler