Gibran Bisa Dimakzulkan Jika Ekonomi Anjlok, Pakar Bongkar Sumbatan dari Politisi Pemilik Tambang

- Sabtu, 12 Juli 2025 | 14:55 WIB
Gibran Bisa Dimakzulkan Jika Ekonomi Anjlok, Pakar Bongkar Sumbatan dari Politisi Pemilik Tambang


Isu pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka yang terus bergulir di ruang publik ternyata bukanlah sekadar manuver politik kosong.

Seorang pakar justru menyebutnya sebagai langkah logis, namun terbentur oleh tembok tebal kepentingan ekonomi para politisi di parlemen.

Analisis tajam ini diungkap oleh Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura dalam podcast Forum Keadilan TV yang ditayangkan di YouTube.

Ia membedah mengapa tuntutan pemakzulan yang dianggap rasional oleh sebagian kelompok masyarakat sipil seolah tak bergema kuat di Senayan.

Menurutnya, desakan untuk melengserkan Gibran merupakan bentuk mitigasi atau pencegahan terhadap potensi bencana kepemimpinan di masa depan. Ini adalah respons wajar dari warga negara yang khawatir.

"Tindakan kelompok masyarakat yang melihat potensi bencana di masa depan dan mencoba mengambil tindakan mitigasi (seperti tuntutan pemakzulan) adalah tindakan logis," tegas Prof. Sulfikar.


Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]

Tembok Kepentingan Tambang dan Sawit di Parlemen

Lantas, mengapa respons dari para wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi ini justru adem ayem? Prof. Sulfikar tanpa tedeng aling-aling menunjuk hidung para elite politik yang kepentingannya terganggu jika isu ini diangkat secara serius.

Ia menyebut adanya "relasi kuasa" dan kepentingan bisnis raksasa yang menjadi sumbatan utama.

"Respon wakil rakyat yang berbeda-beda terkait isu pemakzulan terkait dengan relasi kuasa dan kepentingan ekonomi (tambang, sawit, dll.) yang mereka pegang," ujarnya.

Analisis ini menyiratkan bahwa kalkulasi untung-rugi materiil, seperti konsesi tambang atau perkebunan kelapa sawit, lebih mendominasi cara berpikir para politisi ketimbang memikirkan risiko jangka panjang bagi negara.

"Kemampuan seseorang berpikir tentang masa depan sangat tergantung pada kepentingan material yang ada di depannya," tambahnya, menyiratkan bahwa idealisme politik seringkali kalah oleh pragmatisme ekonomi pribadi atau kelompok.

'Bom Waktu' Ekonomi Bisa Jadi Pemicu Utama

Meskipun saat ini terhalang oleh kepentingan elite, Prof. Sulfikar meyakini isu pemakzulan ini bisa meledak menjadi gerakan masif.

Namun, ada satu syarat utama yang bisa menjadi pemicunya: krisis ekonomi yang dirasakan langsung oleh perut rakyat.

Selama kondisi ekonomi masih stabil, gerakan ini akan sulit membesar. Namun, jika situasi memburuk, kemarahan publik bisa menjadi bahan bakar utama.

"Gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk menuntut pemakzulan membutuhkan faktor pemicu yang lebih kuat, seperti kondisi sosial ekonomi yang menurun drastis," jelasnya.

Ini berarti, nasib politik Gibran bisa jadi sangat bergantung pada kemampuannya dan pemerintahan Prabowo dalam menjaga stabilitas ekonomi. Jika gagal, 'bom waktu' ketidakpuasan publik bisa meledak kapan saja.

Sementara itu, dari sisi internal koalisi, Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai masih mengambil sikap aman. Menurut Prof. Sulfikar, Prabowo belum melihat adanya urgensi atau kepentingan untuk ikut campur dalam wacana pelengseran wakilnya itu.

"Prabowo dinilai belum memiliki kepentingan kuat untuk mendukung pemakzulan Gibran dan cenderung membiarkannya," ungkapnya.

Sikap Prabowo ini menunjukkan dinamika internal kekuasaan yang masih cair, di mana isu pemakzulan Gibran dibiarkan bergulir sebagai bagian dari lanskap politik yang kompleks.

Sumber: suara
Foto: Wapres Gibran Rakabuming Raka. (Istimewa)

Komentar