'Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik'
Oleh. M. Yamin Nasution,S.H.
Pemerhati Hukum
Tulisan ini adalah sebuah analisis historis-filosofis, bukan hasutan, bukan ramalan.
Ditulis dengan pendekatan komparatif, merujuk pada pemikiran Niccolò Machiavelli dalam Il Principe (1513), serta prinsip etis-spiritual Islam (QS Al-‘Ashr) yang menempatkan waktu sebagai hakim tertinggi atas setiap kekuasaan.
Tulisan ini ingin menjadi pengingat, bahwa Gibran Rakabuming Raka, sebagai sosok yang mewarisi kekuasaan, harus belajar dari sejarah, karena tak satu pun manusia dapat melawan waktu.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.”
“Jika kau tidak menghancurkan republik sampai akar-akarnya, maka ia akan menghancurkanmu suatu saat.” – Niccolò Machiavelli
Dari Cesare Borgia ke Gibran: Warisan yang Tak Siap
Tahun 1502, seorang bangsawan muda bernama Cesare Borgia (1475–1507) menguasai wilayah Romagna di Italia Tengah.
Ia naik bukan karena perjuangan rakyat, tetapi karena darah: anak dari Paus Alexander VI. Kekuasaan diwarisinya bukan lewat legitimasi, tapi perlindungan dan manipulasi.
Niccolò Machiavelli, diplomat Republik Firenze, mengaguminya sebagai sosok ideal untuk penguasa baru: cepat, kejam, dan lihai memainkan simbol keadilan.
Tapi semua itu runtuh dalam sekejap ketika sang ayah wafat.
Tanpa fondasi kuat dan dukungan rakyat, Cesare kehilangan segalanya, dikalahkan oleh waktu dan sejarah.
“Jika kamu tidak menghancurkan republik dari akarnya, maka ia akan menghancurkanmu nanti.” — Machiavelli
Jokowi: Membangun Dinasti di Atas Republik yang Belum Mati
Lima abad setelah kejatuhan Cesare Borgia, Joko Widodo, datang dari Solo, bukan Vatikan, naik menjadi Presiden Indonesia.
Ia bukan anak paus, bukan bangsawan. Ia lahir dari harapan rakyat biasa: seorang tukang kayu yang menjelma menjadi simbol perubahan.
Namun sejarah menunjukkan: simbol bisa dibajak. Harapan bisa disandera.
Dan rakyat yang lelah oleh rezim militer dan elit korup akhirnya menyambut “kesederhanaan” sebagai penebus dosa masa lalu, tanpa tahu bahwa dalam kesederhanaan itu, tersembunyi proyek besar kekuasaan yang jauh lebih licin dan bengis.
Jokowi membangun kekuasaan bukan dengan moncong senapan, tapi dengan gaya hidup sederhana yang mengaburkan sentralisasi.
Ia tidak memaksa, tapi membuat rakyat mencintai belenggu mereka.
Ia tidak menghapus semangat reformasi dengan frontal, tapi menidurkannya lewat jargon-jargon populis: blusukan, makan pecel, naik motor butut.
Seperti yang pernah ditulis Machiavelli, cara terbaik membunuh ide kebebasan adalah dengan menghidupkan kembali kebiasaan lama yang membuat rakyat merasa merdeka, padahal sedang dijinakkan.
Jokowi menjinakkan republik dengan membiusnya secara kolektif.
Ia membangun ilusi kemerdekaan: bantuan sosial yang dipersonalisasi, infrastruktur yang diagung-agungkan, dan narasi “rakyat kecil” yang terus dikapitalisasi.
Tapi di balik itu, ia menghidupkan sentralisme lama dengan wajah baru. Segalanya kembali dikendalikan dari pusat: perizinan, proyek strategis, bahkan suara kampus.
“Rakyat tidak sadar ketika mereka dijadikan penonton dari panggung demokrasi yang telah diskenariokan.”
Jokowi, tidak membangun negara yang kuat, tapi membentuk negara yang tergantung padanya. Sementara oposisi dikikis, elite diserap, dan hukum dikoreksi demi kelanggengan.
Mahkamah Konstitusi pun dijadikan alat pembuka jalan bagi putranya, Gibran, masuk ke lingkar kekuasaan.
Dengan demikian, Jokowi bukan hanya membangun dinasti, ia merancang ulang republik, agar tampak demokratis, tapi dikendalikan oleh satu arus, satu wacana, satu garis darah.
Ini bukan pengkhianatan yang frontal, melainkan pengingkaran halus terhadap amanat reformasi.
Ia mengganti sistem representasi dengan personalisasi. Gagasan diganti dengan gestur.
Kemerdekaan diganti dengan kesetiaan pada figur. Rakyat tidak diberi kesadaran, hanya diberi tontonan.
Dan di situlah republik mulai kehilangan denyutnya. Ia tidak mati. Tapi ia dibuat merasa tidak perlu hidup.
Dibuat percaya bahwa pemimpin sederhana adalah cukup, bahkan ketika ia mengunci arah negara kepada anaknya sendiri.
“Mereka mengira sedang hidup dalam demokrasi, padahal hanya sedang berjalan di lingkaran kekuasaan yang sama, dengan panggung yang lebih rapi dan aktor yang lebih bersih wajahnya.”
Tapi sejarah mencatat. Republik tidak pernah bisa dikurung selamanya.
Ia akan bangun, dan ketika bangun, ia akan menagih harga dari warisan kekuasaan yang terlalu percaya diri melampaui waktu dan hukum.
Gibran– Penerus Tanpa Akar
Gibran tidak lahir dari krisis sejarah. Ia tidak dibentuk oleh luka kolektif rakyat, tidak dibesarkan oleh pengalaman menyusun bangsa dalam perdebatan ideologis, ataupun diuji oleh kebutuhan akan pemimpin yang lahir dari nurani publik.
Ia hadir sebagai produk dari rekayasa hukum, sebagai pelanjut kuasa dari seorang ayah yang tengah mengkonsolidasikan simbol dan struktur negara.
Dalam politik kekuasaan, ini bukan sekadar regenerasi. Ini adalah bentuk baru dari perpanjangan kekuasaan yang menyaru sebagai suksesi sah.
Di sinilah bahaya itu muncul: ketika dinasti dibungkus sebagai demokrasi, dan warisan darah disulap menjadi kehendak rakyat.
“Jika republik dibangun di atas kesadaran, maka dinasti adalah upaya sistematis membunuh cara berpikir itu.”
Sebagaimana diajarkan oleh Niccolò Machiavelli, rakyat akan lebih mudah menerima kekuasaan baru jika dibungkus dalam bentuk-bentuk lama yang mereka kenal : nama yang akrab, simbol yang diwarisi, kebiasaan yang tidak asing.
Inilah strategi klasik dalam politik warisan: mengganti isi kekuasaan tanpa mengganti tampilannya, agar republik tetap tampak hidup, padahal sedang dilucuti dari dalam.
“To hold a new state, it is wise to retain the forms of old institutions…” — Machiavelli, Il Principe
Tradisi lama dihidupkan bukan karena nilai, tapi karena fungsinya sebagai alat penjinak rakyat.
Mereka dibiasakan dengan wajah penguasa yang sama, nama keluarga yang sama, bahkan narasi kesederhanaan yang dikemas ulang.
Dengan begitu, kekuasaan bisa mengubah sistem lebih dalam, bahkan tanpa perlawanan yang berarti.
Dan inilah kerusakan besar nya. Ketika rakyat dibiasakan tunduk pada keakraban, bukan pada prinsip. Ketika republik dirubah bukan dengan peluru, tapi dengan nostalgia palsu. Maka Gibran bukan hanya melanjutkan kekuasaan, ia menjadi simbol dari pembunuhan perlahan atas kesadaran republik.
Dalam kerangka tata negara, ini adalah pengkhianatan. Karena konstitusi dibentuk untuk membatasi kekuasaan, bukan mewariskannya. Dan ketika pembatas itu diloncati, lalu dilegalkan oleh lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga pagar-hukum Negara. Maka republik tidak dibunuh oleh kudeta, tetapi oleh penyesuaian yang terus-menerus dibungkus legalitas.
“Republik tak mati oleh peluru. Ia mati oleh kompromi yang berulang dan pembenaran yang terus-menerus.”
Etika publik pun menjadi korban. Gibran tidak hanya gagal membangun kredibilitas intelektual atau kematangan dalam berbicara, tetapi juga gagal menunjukkan arah moral bagi generasinya. Ia bicara sekenanya, menjawab seadanya, dan bersikap seolah jabatan adalah panggung, bukan pertanggungjawaban.
Ini bukan soal usia, tapi soal kesanggupan menanggung makna kekuasaan. Dan karena ia lahir dari proses yang dipaksakan, maka ia tidak memiliki akar dalam kesadaran rakyat. Republik, suatu saat nanti, akan menagih harga dari semua ini.
“Pohon kekuasaan yang tumbuh dari bibit manipulasi takkan bertahan jika akarnya tak menembus hati rakyat.”
Waktu Adalah Lawan yang Tak Terbendung
Dalam Islam, waktu bukan sekadar penanda usia, melainkan alat penguji kekuasaan.
“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian…”(QS. Al-‘Ashr: 1–2)
Machiavelli pun sepakat, waktu adalah musuh yang tak bisa ditaklukkan dengan pedang atau undang-undang. Ia bekerja diam-diam, namun pasti.
Jokowi hanya punya waktu sepuluh tahun. Itu tak cukup untuk menghapus memori republik. Tak cukup untuk menanam dinasti di hati rakyat. Gibran mungkin menang hari ini, tapi belum tentu bertahan lima tahun ke depan. Sebab dinasti yang tak lahir dari luka sejarah hanya akan menjadi hantu kekuasaan, tak disambut, tak dirindukan, hanya dibebani harapan yang tak pernah diminta.
Republik Bisa Sabar, Tapi Tak Pernah Lupa
“Kota yang terbiasa bebas tidak bisa dikekang selamanya. Mereka akan bangkit, jika tidak hari ini, maka esok.” — Machiavelli, Il Principe.
Jokowi berhasil menjinakkan lawan, tapi ia tidak membunuh republik. Ia hanya membiusnya sementara. Dan pertunjukan selalu berakhir. Tirai pasti tertutup. Ketika Jokowi tidak lagi ada, secara biologis ataupun politis, Gibran akan berdiri sendirian. Tanpa legitimasi sejarah. Tanpa simpati mayoritas.
Dan saat itu, republik akan datang bukan dengan balas dendam, melainkan dengan koreksi besar-besaran. Ia akan mengoreksi penghinaan terhadap reformasi. Mengoreksi dosa terhadap konstitusi. Mengoreksi warisan kekuasaan yang terlalu rakus ingin abadi.
Kesimpulan
Republik Tidak Mati, Ia Hanya Mengingat.
Kekuasaan bisa dibangun di atas batu bata retorika. Tapi tidak akan bertahan tanpa dasar moral. Dalam filsafat politik, waktu adalah algojo yang tidak bersuara. Ia tidak menyerang. Ia hanya menunggu. Dan kekuasaan yang tak berdiri di atas kesabaran, akan runtuh di hadapan kesadaran.
“Republik bukan dibunuh oleh senjata, tetapi dilupakan oleh pemimpinnya sendiri.”
Namun rakyat Indonesia bukan bangsa pelupa. Mereka menyimpan ingatan. Mereka mencatat. Mereka memaafkan, tapi tidak lupa.
Jika Jokowi mati, secara biologis, atau secara sejarah, maka Gibran bukan menjadi simbol harapan, tapi peringatan. Bahwa kekuasaan tanpa perjuangan adalah kesombongan yang menunggu pembalasan sejarah.
Dan waktu tidak pernah memberi ampun kepada siapa pun yang menganggap dirinya kebal darinya.
“Wal-‘Ashr… Innal-insāna la fī khusr…” ***
Artikel Terkait
Kematian Diplomat Arya Janggal! Rekaman CCTV: Detik 23.25.19 Tiba-tiba jadi 23.25.53
Diamankan, Ternyata Pelaku Lempar Batu ke Komuter Arah Bogor Dua Bocah Iseng
Terekam CCTV, Polisi Ungkap Fakta di Balik Gerak-Gerik Mencurigakan Penjaga Indekos Arya Daru!
Pemungutan Suara Ketum PSI Dimulai, Bro Ron Unggul Sementara dari Kaesang