Luka Bangsa di Mata Dunia: Ijazah Palsu, Nepotisme, Represi, Hedonisme, dan Korupsi!

- Sabtu, 06 September 2025 | 18:40 WIB
Luka Bangsa di Mata Dunia: Ijazah Palsu, Nepotisme, Represi, Hedonisme, dan Korupsi!


Luka Bangsa di Mata Dunia: Ijazah Palsu, Nepotisme, Represi, Hedonisme, dan Korupsi!


Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, seharusnya menjadi kekuatan besar di Asia. 


Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, sorotan dunia justru dipenuhi oleh ironi: isu ijazah palsu seorang presiden, naiknya putra presiden ke kursi wakil presiden melalui nepotisme terang-terangan, demonstrasi berdarah di bawah kepemimpinan baru, perilaku hedon pejabat di tengah penderitaan rakyat, hingga praktik korupsi yang tak kunjung berhenti. 


Semua ini bukan sekadar aib personal, melainkan krisis sistemik yang mempermalukan bangsa.


1. Isu Ijazah Palsu Jokowi: Krisis Kredibilitas Nasional


Sejak 2019, isu mengenai keabsahan ijazah Jokowi mencuat ke publik. 


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahkan pernah memproses gugatan terkait dugaan ijazah palsu yang diklaim berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM). 


alaupun pihak kampus menyatakan ijazah tersebut sah, publik tetap diwarnai keraguan.


Kasus ini menjadi sorotan media asing. Pertanyaan sederhana pun muncul: bagaimana mungkin seorang presiden yang sudah dua periode memimpin justru dirundung kontroversi mengenai bukti akademisnya? 


Lebih dari sekadar persoalan dokumen, kasus ini menggerus legitimasi moral seorang kepala negara. 


Dunia menilai: jika hal mendasar seperti ijazah saja tidak transparan, bagaimana publik bisa percaya pada kebijakan-kebijakan besar yang menyangkut hajat hidup rakyat?


2. Nepotisme Gibran: Demokrasi yang Dipermainkan


Kebangkitan Gibran Rakabuming Raka ke kursi wakil presiden adalah bukti paling nyata dari hancurnya sistem demokrasi kita. 


Pada Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi tiba-tiba meloloskan aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden yang membuka jalan bagi Gibran—putusan yang penuh konflik kepentingan karena sang Ketua MK saat itu adalah ipar Jokowi.


Gibran maju mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024, dan akhirnya naik tahta sebagai wakil presiden. Dunia internasional menyoroti hal ini sebagai praktik nepotisme vulgar. 


The Economist hingga South China Morning Post menyebut fenomena ini sebagai langkah mundur demokrasi Indonesia, yang dulu pernah dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.


Pertanyaan pahit muncul: apakah 270 juta rakyat Indonesia benar-benar tidak punya figur lain, sehingga harus menyerahkan kursi wakil presiden kepada seorang anak presiden yang minim pengalaman politik dan pemerintahan?


3. Demonstrasi Berdarah Agustus 2024: Luka Demokrasi di Era Prabowo


Ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi politik memuncak pada Agustus 2024. 


Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota, menolak praktik nepotisme, kecurangan elektoral, dan arah demokrasi yang semakin menyimpang. Ribuan mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil turun ke jalan.


Sayangnya, alih-alih dilindungi, mereka justru dihadapi dengan represi brutal. 


Bentrokan pecah, gas air mata ditembakkan, dan aparat bertindak represif. Beberapa orang tewas, ratusan luka-luka. 


Peristiwa ini segera diberitakan oleh media internasional, dari Reuters hingga Al Jazeera, yang menyoroti bagaimana Indonesia kembali menunjukkan wajah otoriterisme.


Di tengah narasi “demokrasi terbesar ketiga di dunia”, fakta bahwa demonstran tewas di jalanan adalah ironi yang mempermalukan bangsa di mata dunia.


4. Hedonisme Pejabat: Elit Berpesta, Rakyat Merana


Jika rakyat semakin terjepit oleh inflasi, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan minimnya akses pekerjaan, sebagian pejabat justru mempertontonkan gaya hidup mewah. 


Media sosial penuh dengan tayangan anak pejabat yang berpose dengan mobil sport miliaran rupiah, pesta ulang tahun mewah, hingga liburan ke luar negeri dengan gaya glamor.


Kasus Mario Dandy, anak pejabat pajak yang memamerkan mobil Rubicon dan Harley Davidson sebelum terlibat dalam kasus penganiayaan, hanyalah puncak gunung es. 


Di berbagai kementerian dan lembaga, pejabatnya dikenal bergelimang fasilitas dan gaya hidup berlebihan—sementara rakyat harus antre bantuan sosial untuk sekadar bertahan hidup.


Fenomena ini menjadi bahan pemberitaan media internasional, yang menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan jurang lebar antara elit dan rakyat jelata. 


Hedonisme pejabat bukan hanya soal moral pribadi, tetapi mencerminkan ketidakadilan struktural yang membuat bangsa ini semakin kehilangan wibawa.


5. Korupsi Tak Berkesudahan: Konsistensi yang Memalukan


Di balik hiruk pikuk politik, penyakit lama tetap bercokol: korupsi. 


Dalam periode 2023–2024 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat puluhan kasus besar, mulai dari kasus korupsi pejabat kementerian hingga kepala daerah. Ironisnya, KPK sendiri semakin dilemahkan oleh revisi undang-undang dan intervensi politik.


Laporan Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023, dengan skor hanya 34. 


Dunia melihat Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, namun terus gagal melawan korupsi karena para pejabatnya justru menjadi bagian dari masalah.


Penutup: Saatnya Berhenti Menanggung Malu


Sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa luka bangsa ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan hasil dari sistem politik yang dikendalikan segelintir elit. 


Dari ijazah palsu yang tak pernah tuntas, nepotisme telanjang, represi berdarah, hedonisme pejabat, hingga korupsi yang tiada henti—semuanya telah mempermalukan Indonesia di mata dunia.


Kini pertanyaan mendesak bagi rakyat adalah: sampai kapan kita rela dipermalukan oleh para pemimpin yang menukar masa depan bangsa dengan ambisi pribadi, pesta kekuasaan, dan kepentingan keluarga?


Sumber: FusilatNews

Komentar