Curhat Mahfud MD soal Nadiem Sebenarnya Bongkar Borok Istana?

- Kamis, 11 September 2025 | 17:10 WIB
Curhat Mahfud MD soal Nadiem Sebenarnya Bongkar Borok Istana?


Di tengah guncangan publik atas status tersangka Nadiem Makarim, sebuah "curhat" dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD seolah membuka informasi yang jauh lebih besar.

Kesaksiannya tentang betapa sulitnya ia berkoordinasi dengan Nadiem yang disebutnya sering "ngantor di hotel", terlihat lebih dari sekadar sentimen pribadi.

Bagi para pengamat politik, curhat Mahfud ini adalah sebuah studi kasus yang secara tidak langsung membongkar "borok" atau penyakit kronis yang mungkin telah lama menggerogoti efektivitas kabinet di Istana: buruknya koordinasi antar kementerian dan tingginya ego sektoral.

Studi Kasus Nadiem: "Menteri Sulit Ditemui"

Keluhan Mahfud MD sangat spesifik dan kuat.

"Saya sebagai Menko saja susah sekali mau ketemu dia (Nadiem)," ungkapnya. Ini bukan sekadar keluhan biasa. Ini adalah pengakuan dari seorang menteri koordinator yang tugasnya adalah mengorkestrasi kebijakan, bahwa salah satu "pemain orkestra"-nya sulit untuk diajak bekerja sama.

Gaya kerja Nadiem yang disebut sering "ngantor di hotel" semakin memperparah persepsi adanya jarak dan eksklusivitas. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah Nadiem adalah satu-satunya "pemain" yang sulit diatur?

Penyakit Kronis Bernama "Ego Sektoral"

Kesaksian Mahfud ini menjadi pintu masuk untuk mendiagnosis "penyakit" lama yang menghantui birokrasi Indonesia: ego sektoral.

Setiap kementerian seringkali bertindak seperti "kerajaan kecil" yang berjalan sendiri-sendiri, mengabaikan arahan dari kementerian koordinator.

Para menteri teknis, terutama yang merasa memiliki "restu" langsung dari Presiden atau memiliki kekuatan politik sendiri, seringkali merasa tidak perlu melapor atau berkoordinasi secara intensif dengan Menko mereka.

Mereka lebih suka "memotong kompas" langsung ke Presiden.

Fenomena ini juga mempertanyakan kembali efektivitas sistem menteri koordinator di Indonesia. Secara teori, Menko adalah "tangan kanan" Presiden yang memastikan semua kementerian di bawahnya berjalan seirama.

Namun, dalam praktiknya, Menko seringkali tidak memiliki wewenang eksekusi yang kuat. Mereka tidak bisa "memaksa" atau memberikan sanksi kepada menteri teknis yang tidak koordinasi.

Tanpa wewenang yang kuat, posisi Menko berisiko menjadi "macan ompong": terlihat gagah di atas kertas, namun tidak memiliki taring untuk menegakkan disiplin. Curhat Mahfud MD soal Nadiem adalah bukti paling nyata dari frustrasi ini.

Nadiem Hanyalah Gejala?

Pada akhirnya, kasus Nadiem mungkin hanyalah gejala dari sebuah masalah sistemik yang lebih besar. Kesulitan koordinasi dan ego sektoral inilah "borok" yang sesungguhnya.

Jika tidak segera diatasi, masalah ini akan terus berulang, tidak peduli siapa pun menteri yang menjabat.

Korupsi yang terjadi di Kemendikbudristek bisa jadi adalah akibat paling fatal dari buruknya sistem pengawasan dan koordinasi ini. "Curhat" Mahfud MD adalah sebuah peringatan keras bagi pemerintahan saat ini: benahi sistem koordinasi di Istana, atau bersiaplah menghadapi "Nadiem-Nadiem" lain di masa depan.

Menurut Anda, apakah sistem menteri koordinator di Indonesia masih relevan dan efektif? Atau perlu ada perombakan besar dalam cara kerja kabinet? Diskusikan di kolom komentar!

Sumber: suara
Foto: Nadiem Makarim (instagram)

Komentar