Bright Institute: Duit Rp200 Triliun Yang Dialihkan Menkeu Purbaya Ternyata Terkait Utang Ugal-Ugalan Era Jokowi!

- Senin, 22 September 2025 | 01:35 WIB
Bright Institute: Duit Rp200 Triliun Yang Dialihkan Menkeu Purbaya Ternyata Terkait Utang Ugal-Ugalan Era Jokowi!




POLHUKAM.ID - 'Gebrakan Rp200 triliun' ala Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggerakkan setor riil yang diharapkan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, memang bikin heboh. 


Menarik banyak kalangan memberikan pandangannya. 


Tapi, tak kalah menariknya, bagaimana ceritanya, pemerintah memiliki uang dalam jumlah yang cukup jumbo, diparkir di brankas Bank Indonesia (BI), yang menjadi 'bahan baku' dari gebrakan Menkeu Purbaya itu?


Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky punya catatan yang menarik. 


Ternyata, duit negara yang disimpan di brankas BI, namanya Sisa Anggaran Lebih (SAL) berasal  dari sisa lebih perhitungan anggaran disingkat SiLPA.


Di mana, besaran SiLPA ini baru diketahui di akhir tahun atau ketika tutup buku anggaran. Jika ada kelebihan anggaran masuk menjadi SiLPA. 


"Indonesia pernah mengalami sisa kurang perhitungan anggaran (SiKPA) pada 2005 dan 2007," papar Awalil di Jakarta, dikutip Kamis (18/9/2025).


Fenomena kelebihan berutang alias utang ugal-ugalan, melahirkan SiLPA yang cukup besar. 


Itu terjadi di era siapa? Tegas saja Awalil menyebut era Jokowi, terjadi penarikan utang yang ugal-ugalan.


"Di periode pertama, Jokowi mewarisi Rp212 triliun. Kemudian ada COVID-19 pada 2020, alasan ngutangnya lebih besar. Wah itu utangnya gia-gilaan. Akibatnya SiLPA pada 2020 itu sekitar Rp245 triliun. Jauh di atas APBN yang enggak sampai Rp2.000 triliun," ungkapnya.


Jika dibandingkan era SBY, lanjut Awalil, angka SiLPA masih relatif terjaga. Tidak terlampau besar. 


Sementara pada 2020, realisasi pendapatan sebenarnya mencapai 96,93 persen dari Perpres yang sudah mengubah postur APBN karena kondisi COVID-19. 


Sedangkan Belanja hanya mencapai 94,75 persen, artinya defisit lebih rendah dari yang direncanakan.


Namun, kala itu terjadi penarikan utang tidak dikurangi, sehingga jauh melampaui defisit. Pembiayaan utang (penarikan dikurangi pelunasan) mencapai Rp1.229,63 triliun. 


Padahal, defisit hanya Rp947,70 triliun. Akibatnya SiLPA melonjak drastis, mencapai Rp245,60 triliun.


Pada 2021, realisasi Pendapatan bahkan melampaui target hingga mencapai 114,78 persen. 


Belanja pun melampaui target, namun hanya 101,32 persen. Defisit menjadi lebih rendah dari yang direncanakan.


Penarikan utang besar-besaran tetap dilakukan sehingga pembiayaan utang mencapai Rp870,54 triliun. 


Melampaui defisit yang sebesar Rp775,06 triliun. Nilai SiLPA pun mencapai Rp96,66 triliun.


Kinerja serupa terulang pada 2022, realisasi pendapatan mencapai 116,31 persen dan belanja 99,67 persen. 


Pembiayaan utang sebesar Rp696,02 triliun, jauh melampaui defisit sebesar Rp460,42 triliun. Sehingga, SiLPA kembali melonjak menjadi Rp130,56 triliun.


Kinerja SiLPA bisa dikatakan kembali normal pada tahun 2023 dan 2024. Masing-masing sebesar Rp19,38 triliun dan Rp45,7 triliun. 


Sejalan dengan besaran pembiayaan utang yang tidak terlampau jauh berbeda dengan defisit.


Sumber: Inilah

Komentar