Oligarkokrasi: Demokrasi Para Bandit

- Jumat, 10 Oktober 2025 | 11:15 WIB
Oligarkokrasi: Demokrasi Para Bandit

OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

INDONESIA hari ini bukan lagi republik yang hidup dari cita-cita, melainkan pasar gelap kekuasaan tempat demokrasi dijual secara eceran dan hukum dilelang kepada penawar tertinggi. Kita masih menulis “negara hukum” dalam setiap pidato pejabat dan prasasti undang-undang, tapi itu hanya mantra kosong dari agama politik yang sudah kehilangan Tuhan-nya.

Hukum tidak lagi menjadi lex suprema bagi keadilan, melainkan menjadi alat tawar-menawar bagi kuasa yang tumbuh di atas meja transaksi. Negeri ini bukan lagi republik, melainkan pasar loak moral, tempat hukum, suara rakyat, dan keadilan dinegosiasikan seperti barang bekas.

Inilah masa ketika republik menjelma menjadi oligarkokrasi — perkawinan sesat antara kerakusan oligarki dan ritual demokrasi. Sebuah sistem busuk yang tetap memakai pakaian rakyat, tapi di dalamnya menyimpan perut para bandit.

Oligarki Topeng Demokrasi

Aristoteles pernah menulis bahwa oligarki adalah bentuk penyimpangan dari aristokrasi — kekuasaan yang seharusnya dijalankan oleh yang bijak, tapi justru dikuasai oleh yang berduit. Namun di Indonesia, penyimpangan itu sudah menjadi norma.

Kita hidup dalam demokrasi kosmetik, di mana rakyat hanya menjadi figuran di panggung teater politik yang disutradarai oleh pemodal dan disiarkan oleh media yang sudah dibeli. Para politisi bicara soal “suara rakyat”, tapi yang mereka dengarkan hanyalah bisikan rekening donatur dan aroma proyek di koridor kekuasaan.

Partai politik telah berubah menjadi korporasi politik, tempat loyalitas ditentukan bukan oleh ideologi, tapi oleh saldo. Mereka menukar idealisme dengan logistik, mengganti prinsip dengan proposal, dan menjual kedaulatan rakyat kepada sponsor. Dari rahim inilah lahir undang-undang cacat logika, regulasi yang memihak korporasi, serta kebijakan yang disusun bukan di parlemen, melainkan di ruang rapat direksi.

Demokrasi kehilangan rasa malunya. Ia tidak lagi berbicara tentang keadilan, melainkan tentang harga untuk menunda kebangkrutan moral bangsa.

Hukum: Pelacur Kekuasaan

Dalam republik para bandit, hukum tidak lagi menjadi penjaga keadilan. Ia menjadi pelacur kekuasaan yang berganti wajah sesuai pesanan. Motto kuno salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) telah diganti diam-diam menjadi lex mercatoria potentiae — hukum milik pasar kekuasaan.

Penegakan hukum berjalan bukan atas dasar kebenaran, melainkan siapa yang paling mampu membeli kesalahan.

Lembaga-lembaga hukum kita, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, banyak yang berubah menjadi buruh politik berkerah toga. Mereka bekerja bukan untuk menegakkan kebenaran, melainkan untuk mempercantik kebohongan dengan tinta legalitas. Kasus besar dikebiri, koruptor disucikan, pelanggar HAM diberi panggung, dan kebenaran dibunuh secara administratif.

Seperti dikatakan Achille Mbembe, inilah bentuk mutakhir dari necropolitics — kekuasaan yang menentukan siapa yang boleh hidup dalam hukum, dan siapa yang boleh dikubur di luar keadilan.

Politik: Industri Kejahatan yang Dilegalkan

Politik dalam sistem oligarkokrasi bukan lagi jalan pengabdian, melainkan industri kejahatan yang dilegalkan. Dari pembiayaan partai, jual beli tiket pencalonan, hingga proyek infrastruktur yang dikorupsi secara berjamaah — semuanya berputar dengan logika kapital. Politik tidak lagi dipahami sebagai perjuangan ideologi, tapi sebagai bisnis dengan dividen kekuasaan dan return on investment.

Hannah Arendt benar: “Revolusioner paling radikal sekalipun akan menjadi konservatif sehari setelah revolusinya berhasil.” Para mantan reformis kini duduk di singgasana, menatap rakyat seperti statistik, dan menjadikan demokrasi sebagai merek dagang.

Reformasi yang dulu berjanji membebaskan, kini menjadi merek politik yang digunakan untuk menjual ketakutan baru.

Halaman:

Komentar