Kritik terhadap proyek kereta cepat juga datang dari dalam kabinet. Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan saat itu, memilih tidak hadir dalam acara groundbreaking, sebuah sikap diam yang berbicara keras tentang ketidaklayakan teknis dan fiskal proyek untuk jarak Jakarta-Bandung yang hanya 142 kilometer.
Kini, langkah Menteri Purbaya menolak menjadikan APBN sebagai penambal utang mencerminkan pergeseran paradigma: dari pembangunan pencitraan menuju pembangunan berkelanjutan berbasis rasionalitas fiskal. Sikap ini juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang kerap mengkritik proyek infrastruktur yang dibangun bukan karena kebutuhan transportasi mendesak, tetapi karena nafsu menunjukkan kemajuan semu.
Mengenal China Debt Trap dalam Pembiayaan Infrastruktur
Masalah kereta cepat bukan hanya soal domestik. Skema pendanaannya membuka pintu pada apa yang disebut banyak analis sebagai jebakan utang China (China Debt Trap) - pola pembiayaan yang menjerat negara-negara berkembang lewat pinjaman besar untuk proyek infrastruktur berisiko tinggi. Seperti diingatkan ekonom Faisal Basri: "Jangan sampai kita bangga dengan proyek megah, tapi tak sadar telah menjadi penyewa tanah sendiri di negeri sendiri."
Warisan Akal Sehat dalam Pembangunan Nasional
Dalam dunia politik yang kian dipenuhi pencitraan, keberanian untuk berpihak pada akal sehat adalah langkah revolusioner. Proyek kereta cepat seharusnya menjadi pelajaran bahwa pembangunan tidak bisa dipaksakan dengan retorika politik, dan bahwa utang bukan prestasi. Langkah tegas pemerintah hari ini menegaskan bahwa pembangunan bukan sekadar deretan proyek fisik, melainkan keputusan moral yang harus berpijak pada logika dan tanggung jawab fiskal.
Sumber artikel asli: https://www.polhukam.id/2025/03/26/pelajaran-mahal-dari-proyek-kereta-cepat-dan-langkah-tegas-purbaya/
Artikel Terkait
Viral Jokowi Gagal Salam Khas UGM, Netizen Soroti Status Alumni: Ini Faktanya!
Jokowi Gagal Salam Khas UGM? Ini Momen Celingak-celinguk yang Bikin Penasaran
Prabowo Sindir Konten Podcast: Pintar tapi Sebar Kebencian?
Luhut Usulkan Dana Rp 50 Triliun untuk INA: Siapa Di Balik Indonesia Investment Authority?