Dalam dua tahun pertama kampanye anti-ekstremisme pemerintah secara resmi menjatuhkan sanksi hanya kepada 38 PNS, menurut A'an Suryana, seorang peneliti di Iseas Yusof Ishak Institute, sebuah think-tank di Singapura. Angka itu merupakan persentase yang sedikit dari 4,3 juta PNS di Indonesia.
Hal itu menandakan pemerintah menggunakan definisi "radikalisme" yang luas. Membuat pernyataan yang "menghina" pemerintah, atau membagikan apa yang dianggap oleh satgas sebagai "berita palsu" di media sosial sudah cukup untuk menarik perhatiannya. Kriteria samar-samar, pada gilirannya, membuat pemerintah mudah untuk mengesampingkan lawan dengan menuduh mereka sebagai ekstremis.
Pada September 2021, sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi korban, karena secara langsung ketika mereka dipecat dengan dalih tidak lulus ujian PNS (Tes Wawasan Kebangsaan). KPK selama ini dikenal gigih membasmi korupsi di eselon tertinggi politik Indonesia, menciptakan musuh yang kuat. Setelah pemecatan pegawai KPK, selebriti di media sosial yang memiliki hubungan dengan pemerintah mengatakan bahwa anggota KPK yang dipecat adalah anggota Taliban.
Salah satu mantan pejabat KPK yang masuk daftar anggota Taliban, Giri Suprapdiono, mengatakan dirinya dan rekan-rekannya justru diberhentikan karena menolak tunduk kepada pemerintah. Tetapi banyak anggota masyarakat, kata dia, percaya klaim bahwa mereka "radikal". Hal itu tentu tidak masuk akal. Menurut Giri, justru beberapa dari mereka yang kehilangan pekerjaan di KPK bahkan bukan Muslim.
Pemerintah "mengaburkan batas antara memiliki pandangan yang kritis terhadap pemerintah, memiliki pandangan Islam, dan hanya disebut teroris", kata Sana Jaffrey. Banyak Muslim konservatif sekarang merasa mereka harus "sangat berhati-hati" ketika mengekspresikan diri mereka di dunia maya, kata juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid. PKS merupakan partai oposisi di Indonesia. Ribuan orang mengalami diskriminasi berdasarkan pandangan agama dan politik mereka, kata Fealy.
Jokowi berharap dengan menindas Muslim konservatif, ia akan mendorong kelompok tersebut untuk memoderasi pandangan mereka dan dengan demikian melindungi pluralisme negara. Sejak pembunuhan enam pendukung FPI pada 2020, agitasi sekelompok Islam telah mereda. Namun kedamaian yang telah dibeli Jokowi mungkin tidak dapat bertahan lama.
Taktiknya kemungkinan akan membuat marah umat Islam dan mendorong memakai jalur bawah tanah. Pada tanggal 7 Juni 2022, Polri mengumumkan penangkapan para pemimpin Khilafatul Muslimin, sebuah kelompok Islam yang mengajar siswa di 31 sekolahnya bahwa Indonesia harus menjadi khilafah.
Akan lebih baik bagi mereka, dan demokrasi Indonesia, jika mereka diajari nilai pluralisme. Sayang sekali bahwa presiden mereka tidak memimpin dengan memberi contoh.
Sumber: republika.co.id
Artikel Terkait
MUI Geram! Tayangan Kiai Terima Amplop di Trans7 Dituding Hina Tradisi, Desak KPI Beri Sanksi
Kerry Adrianto Cs Didakwa Rugikan Negara Rp 285 Triliun, Ini Fakta-Fakta Lengkapnya!
Luhut Ditolak Tegas! Purbaya: Family Office Pakai APBN? Bangun Sendiri Saja!
Kluivert Gagal Bawa Indonesia ke Piala Asia, Kontraknya Segera Berakhir