Media yang berbasis di London, Inggris, itu memulai ulasan dengan para pejabat di Indonesia yang secara teratur menuding sebagian besar pekerja sektor publik sebenarnya adalah ekstremis Islam. Para menteri dan kepala intelijen terus mengecam 'radikalisme' yang ada di birokrat dan guru.
Kekhawatiran semacam itu sebagian berasal dari keterikatan elite penguasa terkait pluralisme agama. Dari 274 juta penduduk Indonesia, sekitar 87 persen merupakan Muslim, yang menjadikan populasi Muslim terbesar di dunia. Tapi, Indonesia bukan negara Islam. Sekutu Barat telah lama merayakan Indonesia karena menggabungkan kesalehan yang meluas dengan komitmen terhadap nilai-nilai liberal.
Sayangnya, serangan para pejabat terhadap PNS terkait radikalisme memiliki tujuan yang kurang mulia. Elite politikus mulai resah pada 2016 ketika kelompok Islamis tersebut muncul sebagai kekuatan politik selama demonstrasi besar besar di Jakarta. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mengecam pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dianggap menghujat Islam. Ahok merupakan sekutu dekat Jokowi.
Dalam bayangan Presiden Soeharto, Jokowi telah merespons fenomena itu dengan represi. Pada 2020, Jokowi melarang Front Pembela Islam (FPI), ketika enam pendukungnya tewas dalam baku tembak dengan polisi pada tahun itu. Jokowi juga menyasar sektor publik. Pada 2019, ia membentuk satuan tugas (satgas) untuk menghapus ekstremis dari jajarannya.
Anggota satgas diambil dari lintas kementerian dan Badan Intelijen Negara (BIN). Pemerintah pun mendorong anggota masyarakat untuk waspada terhadap pandangan ekstremis PNS melalui laman khusus.
Kebijakan pemerintah pun mulai menyaring pelamar PNS untuk menilai keyakinan agama mereka. Instansi pemerintah sekarang mengadakan seminar yang dirancang untuk menanamkan loyalitas kepada negara kepada PNS. Bidang keamanan telah mengirimkan daftar anggota pegawai yang diduga memiliki pandangan ekstremis kepada administrator di universitas negeri dan bos BUMN.
Mereka yang disebutkan namanya diperingatkan bahwa pandangan mereka akan merugikan karier mereka. Daftar tersebut menunjukkan bahwa lembaga negara melakukan pengawasan ekstensif terhadap sektor publik, tulis Gregory Fealy dari Australian National University.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo telah memperingatkan PNS bahwa pemerintah dapat mendeteksi "jejak digital" mereka. Pemerintah membenarkan intrusi semacam itu dengan mengklaim bahwa ekstremisme Muslim "menembus jauh ke dalam organ-organ negara, mengakibatkan penangkapan seluruh bagian birokrasi", tulis Fealy.
Kekhawatiran tentang radikalisme memiliki beberapa manfaat. Namun, klaim pemerintah atas penangkapan negara oleh para ekstremis dilebih-lebihkan. "Tidak ada bukti yang menunjukkan prevalensi sistemik terorisme atau ekstremisme kekerasan dalam pegawai negeri," kata Sana Jaffrey dari Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah think-tank di Indonesia.
Artikel Terkait
MUI Geram! Tayangan Kiai Terima Amplop di Trans7 Dituding Hina Tradisi, Desak KPI Beri Sanksi
Kerry Adrianto Cs Didakwa Rugikan Negara Rp 285 Triliun, Ini Fakta-Fakta Lengkapnya!
Luhut Ditolak Tegas! Purbaya: Family Office Pakai APBN? Bangun Sendiri Saja!
Kluivert Gagal Bawa Indonesia ke Piala Asia, Kontraknya Segera Berakhir