Itulah kenapa Lubis tak mau membantu anaknya mendapatkan pekerjaan. Terlebih di instansi pemerintah, sipil maupun militer. "You nggak akan kuat. Nggak kuat mental you makan duit korupsi."
Lubis tahu benar bahaya korupsi. Dia getol memerangi korupsi pada pertengahan 1950-an. Meski memiliki perusahaan, dia juga tak mau memasukkan anak-anaknya. "Tidak ada model relasi. Mereka harus bisa berdiri sendiri," ujar Lubis.
Di rumahnya di Jalan Semboja, Lubis sesekali kedatangan sejawatnya, seperti Kemal Idris, Ventje Sumual, Ali Sadikin, dan Ali Moertopo. Wartawan senior Mochtar Lubis, yang getol menyuarakan pemberantasan korupsi, juga kerap datang.
Lubis akan mengisi waktu dengan membaca dan menonton sepak bola di televisi jika tak ada tamu. Furqan Lubis ingat betul masa ketika screening yang dijalankan Pemerintah Orde Baru menghentikan jalannya menjadi dosen.
Dia tak tahu apa yang membuatnya tak lulus. Alih-alih memberi tahu, si petugas malah berpesan: "Kamu jangan mencontoh orangtuamu, ya."
Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli menjawab singkat: "Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan."
Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat.
Baginya, pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. "Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri," kata Furqan.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, dia hanya menasihati.
"Kalau kita berantem, jangan lawan yang kecil dari kamu. Yang lebih besar dari kamu! Seperti Ayah. Ayah lawan Soekarno kalau tidak benar."
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Lubis dalam kesehariannya kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak.
Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan. "Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Menurut dia, Pemerintahan Orde Baru tak demokratis.
Dia memberikan contoh bahwa pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.
Lubis berpendapat, orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois.
Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan. "Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak," kata Lubis.
Berbeda dengan teman-temannya dari Generasi '45, yang mengungkapkan kekecewaannya dengan membentuk kelompok macam Petisi 50, Lubis memilih berjalan seorang diri. Dia sengaja menjauhi hiruk-pikuk seperti itu.
Baginya, membela kebenaran adalah tanggung jawab personal, dan tak perlu menunggu teman untuk melakukannya.
Setiap hari, Lubis bangun paling lambat pukul empat, pun ketika masih aktif di dunia militer dengan segudang kesibukan menemani.
Setelah salat tahajud, dia melanjutkannya dengan zikir hingga subuh. Bangun pagi merupakan didikan orangtuanya. "Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya," kata Lubis menirukan pesan orang tua.
Lubis juga tak lupa menjaga kesehatannya. Setiap pagi dia biasa olah pernapasan sebelum berangkat kerja. Fisiknya tetap bugar.
Nyaris tak pernah sakit parah. Sebuah tongkat selalu menemaninya, bukan sebagai alat bantu untuk berdiri, tetapi meneruskan kebiasaan lama sejak masih aktif di militer.
Makanya, banyak orang kaget ketika dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina dan akhirnya pada 23 Juni 1993 berpulang.
"Sakitnya tak diketahui. Ayah juga tak punya riwayat sakit yang parah," kata Furqan.
Atas permintaan Wakil Presiden Try Sutrisno, jenazah Zulkifli Lubis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor.
"Keluarga inginnya dimakamkan biasa aja," kata Furqan.
Furqan mengatakan, ayahnya semasa hidup tak pernah mengurus tunjangan veteran, apalagi berpikir untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan jika kelak meninggal dunia. Lubis selalu menekankan keikhlasan meski hasil perjuangannya tak selalu menyenangkan.
"Hal-hal seperti itu yang beliau ajarkan kepada kami," pungkasnya.
Sumber: SindoNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur