Sebagai modal awal, BPPC mendapatkan pinjaman dari Bank Indonesia sebesar US$325 juta, yang setara dengan Rp5,2 triliun dengan kurs sekarang.
Lalu, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), 1997, sebuah proyek penyelamatan bank-bank yang mulai kesulitan likuiditas.
Banyak bankir dan pengusaha besar menyalahgunakan dana ini; mereka mengalirkannya ke luar negeri atau ke perusahaan pribadi.
Setelah bertahun-tahun, sebagian besar utang BLBI tidak pernah dikembalikan secara penuh ke negara dan beberapa tokoh utama dalam skandal ini tidak pernah benar-benar dihukum setimpal.
Setahun kemudian BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), 1998, setelah Soeharto lengser.
Institusi ini memiliki wewenang menangani aset bermasalah yang ditinggalkan oleh bank-bank penerima BLBI serta mencoba memulihkan sektor keuangan nasional, dan berakhir melenceng sebagai lembaga cuci gudang aset negara.
Bank-bank besar yang bangkrut disuntik dengan uang negara, lalu aset-asetnya dijual murah.
Krisis moneter yang seharusnya bisa menjadi momentum reformasi pada akhirnya justru memperkuat cengkeraman oligarki. Kita gagal lagi dengan institusi.
Dan, tentu saja, ada proyek Hambalang. Pusat pelatihan dan sekolah atlet di era Presiden SBY ini, yang direncanakan dengan anggaran Rp2,5 triliun, berakhir mangkrak akibat kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara sebesar Rp706 miliar.
Sekarang, yang tersisa dari proyek itu hanyalah bangunan setengah jadi yang ditinggalkan, seperti sisa-sisa peradaban yang gagal total.
Sekarang ada Danantara. Dengan reputasi buruk dan sejarah kegagalan yang selalu berulang, saya khawatir institusi ini hanya akan berakhir dengan korupsi, inefisiensi, dan yang akan diuntungkan lagi-lagi segelintir elite.
Jadi, bagi saya Danantara bukan proyek ekonomi. Ia hanya cara negara ini untuk membuktikan bahwa sejarah memang berulang, dalam kasus Indonesia, itu berarti yang berulang adalah sejarah kegagalannya.
Dalam kegagalan itu, kita akan menyaksikan kekuasaan semakin terkonsolidasi, sementara rakyat tetap kering kerontang dan hanya menjadi penonton di pinggir lapangan.
Dengan korupsi yang mengakar, manajemen yang buruk, birokrasi yang lambat dan tidak efisien, dan kurangnya akuntabilitas dan evaluasi, institusi-institusi kita, juga proyek-proyek negara, sejauh ini selalu berakhir sebagai sarang korupsi.
Saya khawatir Danantara tidak berbeda dari yang lain-lainnya—ia tetap didirikan dan dikelola oleh orang Indonesia.
Dan, satu lagi, dengan mengelola “keuangan terbesar di dunia”, institusi ini sepertinya memang dibuat untuk kepentingan elite, bukan untuk kepentingan rakyat. ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur