Pepesan Kosong UU Cipta Kerja: PHK Merajalela, Cari Kerja Kian Susah!

- Selasa, 04 Maret 2025 | 13:10 WIB
Pepesan Kosong UU Cipta Kerja: PHK Merajalela, Cari Kerja Kian Susah!

POLHUKAM.ID - Awal Ramadan 2025 diwarnai gelombang PHK besar-besaran. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian.


Dampaknya semakin terasa karena terjadi menjelang Idul Fitri, saat banyak dari mereka ingin pulang kampung dan butuh kestabilan finansial.


Ironis. UU Cipta Kerja yang diklaim pemerintah sebagai solusi penciptaan lapangan kerja justru jadi alat pemutusan hubungan kerja.


Alih-alih melindungi pekerja, regulasi ini memberi celah bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja tanpa tanggung jawab.


Sritex, raksasa tekstil Indonesia, jadi contoh nyata. Setelah puluhan tahun beroperasi, PT Sri Rejeki Isman Tbk akhirnya bangkrut.


Krisis keuangan yang berlangsung selama satu dekade mencapai puncaknya pada Mei 2021, saat Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit. Dampaknya, per 1 Maret 2025, sekitar 12 ribu pekerja kehilangan pekerjaan.


Pemerintah mencoba meredam situasi. Mereka mengklaim dalam dua minggu ke depan para pekerja Sritex akan dipekerjakan kembali di bawah perusahaan baru. Namun, belum ada kejelasan mengenai status dan hak pekerja.


Gelombang PHK tak berhenti di Sritex. PT Yamaha Musik bersiap melepas sekitar 1.100 pekerja. 


PHK akan dilakukan bertahap di dua pabrik, yakni di Kawasan Industri MM2100, Bekasi, dan Pulo Gadung, Jakarta Timur.


PT Sanken pun bernasib serupa. Setelah lebih dulu memecat 500 pekerja, produsen elektronik asal Jepang ini akan kembali merumahkan 400 pekerja pada Juni 2025.


Pepesan Kosong UU Cipta Kerja


Gelombang PHK yang masif bukan sekadar dampak ekonomi. Pakar hukum ketenagakerjaan dari UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menilai ada korelasi erat antara maraknya PHK dan Undang-Undang Cipta Kerja.


Sejak proses penyusunannya, UU Cipta Kerja sudah menuai gelombang protes. 


Unjuk rasa berlangsung di berbagai wilayah, bahkan sejak Agustus 2019, saat pemerintah mewacanakan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai fondasi undang-undang ini.


Para demonstran khawatir aturan ini akan merugikan banyak pihak. 


Bagi pekerja, UU Cipta Kerja berarti pesangon yang lebih kecil, cuti wajib yang dipangkas, jam kerja lebih panjang, serta peluang perusahaan menggantikan pekerja penuh waktu dengan tenaga kontrak atau paruh waktu.


Dampaknya tak hanya dirasakan pekerja. Aktivis lingkungan memperingatkan bahwa undang-undang ini bisa mempercepat deforestasi, melemahkan upaya pengendalian gas rumah kaca, dan memperburuk krisis iklim.


Serikat pekerja menilai aturan ini berpihak pada investor dan mengabaikan kepentingan buruh. Sebaliknya, pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk memulihkan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19.


Pada awal perumusannya pemerintah mengklaim bahwa UU Cipta Kerja akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. 


Klaim itu pernah disampaikan Joko Widodo saat masih menjabat presiden.


"UU Cipta Kerja bertujuan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi pencari kerja dan pengangguran," kata Joko Widodo pada Oktober 2020 saat ia masih menjabat presiden, menanggapi demonstrasi penolakan pengesahan undang-undang ini.


Faktanya, UU Cipta Kerja justru mempermudah perusahaan melakukan PHK.


"Janji pemerintah bahwa UU ini akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, ternyata pepesan kosong," ujar Nabiyla, Senin (3/3/2025).


Sudah empat tahun berlalu, tetapi investasi tak meningkat signifikan. Lapangan kerja yang dijanjikan pun tak kunjung terbuka luas.


'Cilaka' UU Cipta Kerja


Regulasi ini, lanjut Nabiyla justru memberi pengusaha keleluasaan untuk memberhentikan pekerja tanpa tanggung jawab. Pasal-pasal yang direvisi justru mempermudah PHK.


"Dalam UU Cipta Kerja, banyak perubahan pasal yang membuat PHK lebih mudah," kata Nabiyla, Senin (3/3/2025).


Ia menambahkan, tingginya angka PHK memang dipengaruhi banyak faktor, termasuk ekonomi pasca-Covid-19. 

Halaman:

Komentar

Terpopuler