Namun, aturan baru membuat PHK berskala kecil hingga besar lebih leluasa dilakukan.
"Setelah UU Cipta Kerja, PHK memang lebih gampang dilakukan," tegasnya.
Dampaknya tergambar jelas dalam data Kementerian Ketenagakerjaan.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada 2020, sebanyak 669.819 pekerja kehilangan pekerjaan dalam kurun 2021–2024.
Tahun 2021 mencatat angka tertinggi, dengan 538.305 pekerja terdampak, diperburuk oleh pandemi.
Pada 2022, jumlahnya turun drastis menjadi 25.114 pekerja, sedikit meningkat pada 2023 dengan 26.400 pekerja hingga Juli.
Namun, pada 2024, angka PHK melonjak lagi, mencapai 80.000 pekerja.
Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, mengamini hal ini. Menurutnya, gelombang PHK besar-besaran terjadi karena UU Cipta Kerja memberi kemudahan bagi perusahaan untuk melepas pekerja dan menghindari tanggung jawab.
"Pengusaha semakin gampang lari dari kewajibannya," ujarnya.
Salah satu contoh nyata terjadi di PT Danbi Manunggal, Garut. Sebanyak 2.079 pekerja kehilangan pekerjaan setelah perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta, 10 Februari 2025. Tanpa kepastian, tanpa kompensasi yang layak.
Peringatan ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Pada 2021, pakar hukum ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan menegaskan bahwa UU Cipta Kerja membuat PHK lebih murah bagi perusahaan.
Setelah UU Cipta Kerja disahkan, aturan turunannya, PP Nomor 35 Tahun 2021, semakin memperjelas bagaimana pesangon pekerja dipangkas.
Jika dulu pekerja yang terkena PHK bisa berharap mendapat hak yang layak, kini mereka harus menerima kenyataan pahit: pesangon yang jauh lebih kecil.
Dalam aturan baru ini, PHK karena perusahaan sudah merugi hanya memberi pesangon sebesar 0,5 kali gaji.
Sementara itu, jika PHK dilakukan sebagai langkah pencegahan sebelum kerugian terjadi, pesangon yang diberikan hanya 1 kali gaji.
Angka ini jauh lebih kecil dibanding ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003.
Buruh yang kehilangan pekerjaan kini harus berjuang lebih keras, sementara perusahaan justru lebih leluasa melepas tanggung jawab.
Nining juga menilai kondisi saat ini membuktikan kekhawatiran publik sejak awal.
"Dari awal Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah diragukan. Kini terbukti, undang-undang ini malah melahirkan fleksibilitas tenaga kerja yang lebih murah, minim perlindungan, dan minim kesejahteraan," tegasnya.
Hak Pekerja Perlu Dilindung
Merespons situasi ini, Komnas HAM mendesak perusahaan untuk tidak melakukan PHK dan meminta pemerintah memastikan hak-hak pekerja tetap dilindungi.
"Komnas HAM meminta korporasi tidak melakukan PHK dan negara, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, memastikan hak-hak pekerja dihormati dan dilindungi," ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, dalam keterangannya.
Jika kasus PHK diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial, Komnas HAM menuntut transparansi, independensi, dan imparsialitas.
Selain itu, pemerintah diminta memastikan hak normatif pekerja tetap terpenuhi. Jaminan sosial harus diberikan hingga pekerja mendapatkan pekerjaan baru. Tunjangan hari raya juga wajib dibayarkan sesuai tenggat yang telah ditetapkan.
Nining pun mendesak pemerintah untuk hadir dan memastikan hak buruh terlindungi.
"Negara harus ada di barisan buruh. Jangan sampai pekerja yang telah puluhan tahun mengabdi malah dibiarkan terpuruk," tegasnya.
"Ini bukan soal buruh yang tidak produktif. Bisa jadi masalahnya ada pada buruknya tata kelola dan manajemen perusahaan," tambahnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur