Krisis ekonomi yang dahulu dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah kini berulang dengan bentuk yang berbeda—utang luar negeri yang semakin menggunung tanpa diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Anggaran negara pun semakin terkuras untuk membiayai proyek-proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tak lebih dari ambisi segelintir elite.
Dari sisi sosial, ketidakpuasan rakyat semakin meningkat. Kelompok buruh, mahasiswa, petani, hingga akademisi mulai bersuara lantang.
Demonstrasi menolak berbagai kebijakan pemerintah terus berlangsung, mulai dari omnibus law, revisi KUHP, hingga yang terbaru, protes terhadap dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistematis. Apakah ini pertanda gelombang perlawanan besar sedang menuju puncaknya?
Nepotisme yang Menelanjangi Konstitusi
Jika dulu nepotisme Soeharto masih berusaha ditutupi dengan berbagai alasan profesionalisme dan keahlian, maka nepotisme di era Jokowi benar-benar telanjang tanpa rasa malu. Bahkan, batasan-batasan konstitusional pun diterobos demi melanggengkan kekuasaan keluarga.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju dalam Pilpres 2024 adalah bukti bahwa aturan bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir orang.
Lebih parahnya lagi, putusan tersebut dihasilkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Anwar Usman, ipar Jokowi sendiri—sebuah praktik nepotisme yang mencoreng marwah demokrasi dan independensi hukum.
Konstitusi yang seharusnya menjadi benteng pertahanan dari praktik korupsi kekuasaan justru dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan politik dinasti.
Inilah kondisi yang membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan politik di Indonesia.
Akankah Sejarah Berulang?
Jika kita berkaca pada Reformasi 1998, perubahan besar terjadi karena rakyat bersatu dalam satu gelombang perlawanan yang kuat.
Mahasiswa, buruh, aktivis, dan masyarakat sipil bergerak bersama, melawan kesewenang-wenangan kekuasaan. Apakah situasi saat ini akan berujung pada ledakan sosial yang sama?
Tanda-tanda ke arah itu semakin jelas terlihat. Ketidakpuasan rakyat yang terus meningkat, ketidakadilan yang semakin nyata, serta kebijakan yang semakin menyengsarakan masyarakat adalah bahan bakar yang bisa menyulut api perlawanan.
Pertanyaannya bukan lagi “mungkinkah Reformasi 1998 terulang?” tetapi “kapan ledakan itu akan terjadi?”.
Jokowi mungkin bisa mengendalikan kekuasaan dengan tangan besinya, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa rezim yang bertumpu pada kekuatan oligarki dan nepotisme tidak akan bertahan lama.
Ketika rakyat sudah kehilangan kesabaran, perubahan akan terjadi—entah dalam bentuk reformasi jilid dua atau gerakan yang lebih dahsyat lagi. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur